Dari Biara Menengok Keluar
(Apresiasi atas
Puisi Erens Djato, SVD dalam Pujangga Sandal Jepit)
Menulis puisi
atau sajak bagi seorang penyair itu membutuhkan sebuah permenungan. Baik itu penyair
atau penyuka puisi mengakui bahwa sebuah puisi atau sajak yang dihasilkan bukan
dari sesuatu yang kosong. Saya sependapat dengan Hengky Ola Sura yang menulis
bahwa si penyair atau penyuka puisi bukan membuat sesuatu dari yang tiada (PK, 5/5/2013). Dengan kemampuan yang
dimiliki seorang penyair mampu menghasilkan suatu puisi atau sajak yang
berbobot. Kalau begitu, saya ingin menyelisik lebih jauh satu judul puisi hasil
racikan seorang rekan dan saudara serumah saya, Erens Djato (ED).
Puisinya dengan judul
“Biara 01” termuat dalam Pujangga
Sandal Jepit edisi 26/Thn-V1/14 Sept-28 Sept. ’13 pada hlm 2. Puisi ini membuat
saya tergerak untuk mengomentari lebih jauh apa maksud dan isinya. Ketika
membaca puisi ini, saya menimbang-nimbang apa sebenarnya yang ED ingin
sampaikan dalam puisi atau sajaknya. Saya ingin membagikan sedikit mengenai
“Pujangga Sandal Jepit”, sebuah Komunitas Sastra yang diselenggarakan oleh para
frater calon imam dan misionaris SVD dari unit St. Arnoldus Yansen, Nita Pleat-Ledalero.
Pujangga
Sandal Jepit
Kita publik NTT
patut bersyukur atas lahirnya komunitas-komunitas sastra yang semakin
mendominasi surat kabar akhir-akhir ini. Salah satu dari sekian banyak
komunitas sastra yang ada ialah Pujangga
Sandal Jepit. Didirikan sejak tahun 2009 oleh para frater yang merasa
penting kalau sastra itu dihidupi dari waktu ke waktu. Dengan satu semboyan
unik “suara kami sederhana saja”. Sandal Jepit sudah jauh berkelana dan mengisi
ruang-ruang hati pembaca. Menjadi kenyataan bahwa Pujangga Sandal Jepit selalu
hidup dengan puisi-puisi hasil racikan para frater calon imam dan misionaris
SVD.
Sepanjang
perjalanan komunitas sastra yang satu ini, sudah banyak puisi-puisi hasil
racikan para frater yang dimuat dalam lembaran sederhana. Hanya selembar kertas
A4. Namun, di dalamnya tertera puisi-puisi yang hidup, kaya makna, dan sangat
inspiratif. Tidak kalah saing dengan komunitas sastra lain, Pujangga Sandal Jepit juga telah
menyentuh hati pembaca di NTT, karena sudah banyak puisi-puisi sudah menembus
Harian lokal seperti Pos Kupang dan Flores Pos.
Hemat saya,
begitu kreatif. Kalau dihitung-hitung sampai saat ini, Pujangga Sandal Jepit diperkirakan sudah memuat ratusan puisi-puisi
kreatif hasil racikan para frater penghuni Wisma St. Arnoldus Yansen-Ledalero.
Sudah pasti bahwa, puisi atau sajak yang dimuat itu bukan lahir dari sesuatu
yang kosong. Selalu ada sesuatunya. Dan Pujangga
Sandal Jepit edisi 26/Thn-V1/14 Sept-28 Sept. ’13 pada hlm 2 pun memuat
satu sajak racikan ED dengan judul “Biara 01”. Ada beberapa puisi atau sajak
yang sama menariknya, tetapi saya memilih untuk mengomentari puisi ED.
Puisi
yang “Membongkar”
‘Biara 01”
menjadi puisi yang sederhana, tetapi menarik. ED mengawali puisi atau sajaknya
dengan pertanyaan dan disusul jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Saya
ingin mengomentari per bait puisi ED.
Pertama, pada bait awal yang terdiri dari 6
baris, ED membahasakan puisinya demikian; /Ke
manakah kisah ini akan tiba?/Setiap
jejak merupakan awal yang tak pernah berakhir/Lembaran waktu yang berhenti berdetak/Kuusap nadir pada helai hayal/Datang
dan pergi/Tak tahu awal juga akhir.
Bait pertama
puisi di atas menyodorkan kepada pembaca sebuah pertanyaan eksistensial mengenai
kisah atau boleh dikatakan cerita umat manusia secara universal. ED tidak
membahasakan secara jelas “kisah” yang dimaksudnya. Jika kita melihat realitas
dengan setiap persoalan yang dihadapi, sakit, bencana, pembunuhan, pemerkosaan,
dan lain-lain, maka ED sebenarnya memulai puisinya dengan mengintrogasi kisah
anak manusia (baca, pengalaman) yang sedang terjadi saat ini. Hemat saya, kisah
yang dimaksud ED dalam pertanyaan tersebut di atas berupa situasi-situasi
ketercabutan, atau dalam pemikiran filsuf Karl Jaspers disebut “situasi-situasi
batas” (Leo Kleden, 2013:2).
Karl Jaspers seorang filsuf
eksistensialis pernah menguraikan pemahamannya bahwa adanya manusia selalu
ditentukan oleh situasi-situasi konkret. Demikian juga eksistensi manusia selalu
“tampak” dalam situasi-situasi tertentu. Situasi-situasi, dimana manusia
menemukan diri sebagai “eksistensi,” disebut Jaspers “situasi-situasi
perbatasan.” Dalam konfrontasi dengan kematian, penderitaan, perjuangan serta
dalam kesalahan kita merasa betapa fana hidup kita. Berangkat dari
“situasi-situasi perbatasan”, benar sekali bahwa ED menyambung, /Setiap jejak merupakan awal yang tak pernah berakhir/Lembaran
waktu yang berhenti berdetak/Kuusap nadir pada helai hayal/Datang dan pergi/Tak
tahu awal juga akhir/. Kisah anak manusia atau cerita pengalaman kita pada
umumnya selalu meninggalkan jejak atau bekas-bekas perjalanan. Manusia justru
selalu memulai ziarahnya dengan melangkah, mengangkat kaki kiri atau kanan dan
mulai berjalan maju. Ketika perjalanan itu semakin jauh, di sana akan ada
banyak jejak yang ditinggalkan. Jejak itu adalah pengalaman yang selalu
disandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut manusia. Inilah
fakta yang dialami oleh setiap manusia yang belum tentu dijawab sampai tuntas.
Mengapa ED
mengatakan lembaran waktu yang berhenti berdetak? De facto, manusia justru hidup dalam sejuta pertanyaan yang terus
dilontarkan, “Mengapa kami sengsara, Tuhan?”. Begitulah ED melihat situasi
konkret manusiawi, bahwa ada banyak luka yang terus terjadi dalam setiap detik,
menit yang terus berlalu.
Lembaran waktu
yang berhenti berdetak menjadi kalimat yang hidup dan memberi makna adanya situasi
“kematian waktu”. Waktu itu sudah mati dalam setiap persoalan-persoalan
keterbatasan manusia, bencana, sakit, kemiskinan, pembunuhan, pemerkosaan, dan
lain sebagainya. Dalam situasi yang demikian, manusia merasa ada “kekeringan”, bahkan
merasa tidak berarti apa-apa di hadapan-Nya. Semuanya itu terus mengiringi
langkah perjalanan manusia dan tak pernah ada akhirnya. Kemudian, muncul
pertanyaan-pertanyaan yang belum tentu semuanya itu dijawab.
Kedua,
terdapat 4 baris dalam bait kedua puisi ED yang berbunyi, /Di kisah ini/Sembari kuberdoa/“Tuhan ke mana aku harus pergi”/Sedang arah tak menentu. Pergulatan dari
kisah itu membawa ED pada permenungannya dengan Tuhan. Seakan ED mengadu dengan
Tuhan atas peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia. ED berdoa dan bertanya “ke
mana ”; menjadi semacam “gugatan”
penyair atas persoalan-persoalan yang dihadapi manusia.
Paul Budi Kleden
dalam bukunya berjudul Membongkar
Derita, Teodice: Sebuah Kegelisahan
Filsafat dan Teologi sengaja menggugat kita agar kita sampai pada
pertanyaan-pertanyaan eksistensial kita sebagai manusia, termasuk bertanya tentang
kehadiran Allah di dalam penderitaan, Engkau di mana Allahku? Penderitaan mesti
dibongkar karena ia merusakkan unum (kesatuan), verum (kebenaran) dan pulchrum (keindahan). Penderitaan
sebagai situasi malum (buruk)
bertolak belakang dengan kesatuan, kebenaran, dan keindahan (Budi Kleden: 2007:
17-18). Sehingga dari dalam biara yang diam, hening, dan membutuhkan waktu
lebih banyak untuk bermenung diri itu, ED menyempatkan sedikit waktunya untuk
menengok keluar dari biara dan mendapatkan sedikit persoalan manusia lalu mengangkatnya
ke permukaan. ED sedang “menggonggong” dan “membongkar” penderitaan manusia.
Sebuah pertanyaan, apakah penderitaan itu berasal dari Allah sebagai hukuman
atau kejadian alam biasa atau berasal dari perbuatan manusia sendiri? Kenyataan
penderitaan dapat ditutupi dan dimanipulasi oleh siapa saja, seperti
penderitaan dianggap sebagai cobaan belaka, kita harus lebih pasrah pada nasib,
dan pada akhirnya kita hanya diam. Budi Kleden justru menekankan hal baru,
yaitu pentingnya kejujuran dan keterbukaan terhadap realitas penderitaan karena
akan membuat orang sadar akan dirinya yang sebenarnya dan penderitaan yang
sedang dialaminya. Karena itu, puisi racikan ED sesungguhnya membuka mata dan
pikiran kita untuk berkaca pada situasi-situasi keterbatasan manusia. Kita
bukan hanya “menggonggong”, tetapi juga “membongkar” penderitaan yang sudah
pasti diciptakan oleh manusia sendiri.
Ketiga, bait terakhir puisi ED terdiri dari 5
baris. Di sini, ED mengangkat situasi pantai dan bukan situasi biara di mana ia
tinggal. /Di bibir pantai/Kucoba menghitung desir/Tapi tak abadi/Apa kau Tuhan????/Jejak yang
selalu abadi. Kita perlu bertanya, mengapa ED membahasakan akhir dari
puisinya dengan menyinggung “pantai”? Hemat saya, kalau ED ingin menampilkan
situasi hanya di biara saja, maka puisi ED hanya menjelaskan realitas
panggilannya semata. Namun, patut diapresiasi bahwa ED menyentil “pantai”
sebagai locus atau tempat yang berada
di luar dari biara. ED benar-benar keluar dari situasinya, yaitu “biara” dan
mengakrabi diri dengan situasi “pantai”, situasi masyarakat kebanyakan, situasi
di desa dan kampung-kampung kita. “Pantai” menjadi sebuah locus yang akrab dengan masyarakat di luar. ED juga menyinggung
nama Tuhan, Apa kau Tuhan? Jejak yang
selalu abadi. ED kembali mengakui bahwa dalam setiap derita dan cobaan atau
situasi-situasi batas yang dihadapi oleh manusia, di dalamnya ada misteri. Ada
sesuatu yang lain yang disebutnya sebagai “yang abadi”. Apakah itu bukan Tuhan?
Setiap penderitaan baik itu paling menyakitkan, selalu saja nama Tuhan itu
disebut. Manusia berkaca dalam situasi-situasi batas agar bisa menarik diri
untuk merenungkan “wajah Allah” di dalamnya. Ini menjadi hal yang sangat baik
kalau kita terus merefleksikan pengalaman-pengalaman hidup kita masing-masing.
Cuma
Menengok?
Maka, dari dalam
biara itu, ED seperti “menggonggong” dengan nyaring dan “membongkar derita”.
Bunyi nyaring itu pun ditemukan dalam puisi atau sajak hasil racikan ED
sendiri. Dari “biara” yang diam, hening, dengan rutinitas yang sama itu,
ternyata seseorang mampu “menengok” ke luar dan melihat keterbatasan manusiawi
yang sarat dengan “situasi-situasi perbatasan” itu. Apa kita hanya “menengok”
saja?
Dimuat di Flores Pos