Rabu, 19 November 2014

Sastrawan Perlu Gelisah



(Sebuah Catatan Reflektif untuk Mario F. Lawi)
Oleh Eto Kwuta 
  Beberapa hari lalu, saya mengomentari puisi Diana Timoria yang di-tag pada dinding facebook saya oleh saudara Mario F. Lawi. Puisi Diana Timoria ini dipublikasikan di Harian Sore Sinar Harapan, 22-23 Maret 2014. Komentar sederhana saya kutip dari pernyataan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, akademisi UI dan sastrawan Indonesia yang sempat melontarkan sebuah pernyataan demikian, “Di masa yang akan datang akan lahir banyak pengarang perempuan karena laki-laki malas membaca. Maka, kita kaum laki-laki, pencinta sastra, sastrawan muda sepert Mario F. Lawi, dan lain-lain, mari kita ringkus kata ‘onani’ itu dari ranah sastra. Diana Timoria, proficiat untukmu saudari.” Begitulah komentar kecil dari saya. 
Selanjutnya Mario F. Lawi menanggapi komentar saya isinya, “pengarang perempuan lahir bukan karena laki-laki malas baca, tetapi memang karena sonde perlu ada ‘perempuan’ atau ‘laki-laki’ setelah kata ‘pengarang’. Tidak salah apa yang dikatakan Mario. Lebih jauh lagi Mario mengomentari bahwa, “kata-kata Sapardi itu dilontarkan dalam konteks penilaian karya-karya mereka yang ikut sayembara novel DKJ beberapa tahun yang lalu. Jadi, sonde perlu digeneralisir.
Penulis tidak mempersoalkan kapan Sapardi melontarkan pernyataan tersebut kepada publik, tetapi mengutip pernyataan tersebut dengan tujuan memotivasi serentak mengapresiasi Diana Timoria. Penulis tidak merasa terganggu kalau komentar itu dianggap Mario sebagai generalisasi, namun sesuatu yang mengganggu horison berpikir saya yaitu, ekspresi penolakan Mario terhadap komentar saya. Itu berarti Mario ingin mempertahankan pernyataan Sapardi hanya dalam konteks penilaian karya-karya waktu itu dan merasa terganggu dengan kata ‘onani’ yang terselip dalam komentar tersebut di atas. Sehingga saya kemudian mengerti kalau Mario menganggap saya mengeneralisasi pernyataan Sapardi kepada kata ‘onani’ di atas. Jadi, penulis hendak memperkecil anggapan Mario dengan membaca lebih jauh mengenai pernyataan Sapardi sebagai ungkapan “kegelisahan sastrawan”.

Kegelisahan Sapardi
Ignas Kleden pernah mengutarakan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam sebuah struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisika, yakni hubungan manusia dan alam semesata. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Berdasarkan apa yang diutarakan Ignas Kleden tersebut, penulis bisa mengatakan ada perbedaan antara Mario dan Sapardi. Sapardi menyampaikan sebuah fakta yang benar-benar ada karena rasa gelisah (kegelisahan politik), sedangkan Mario tidak perlu lagi gelisah karena sudah berada pada titik aman. Dengan demikian, penulis berani mengatakan kalau Mario tengah mengalami kegelisahan eksistensial, karena banyak hal dalam dirinya sudah dipecahkan sendiri (menghasilkan karya sastra berupa puisi maupun cerpen).
Ketika berhadapan dengan perjuangan perempuan untuk lahir kembali (baca: menciptakan karya-karya sastra), seorang Sapardi melihat kemungkinan lain di waktu yang akan datang. Pertama, saya menyebut pernyataan Sapardi sebagai satu kegelisahan. Mengapa? Kita perlu menyadari kalau generalisasi tidak selamanya negatif. Tetapi pada tataran tertentu generalisasi berdaya guna membangun, memotivasi, bahkan membongkar kemapanan apa pun itu. Hal ini dinamakan sebagai generalisasi empiris yang berangkat dari tesis, hukum, atau hipotesis berdasarkan pengamatan terhadap kenyataan tertentu dan sifatnya sangat spesifik. Dan ketika Mario menganggap komentar saya sebagai suatu generalisasi, itu bisa benar bisa juga tidak. Karena mempertimbangkan kegelisahan Sapardi tersebut, beliau justru membuat sebuah generalisasi juga, yaitu generalisasi empiris. Mungkin karena fenomena empiris yang ditemukan beliau yaitu, laki-laki sekarang malas membaca.
Kedua, kegelisahan Sapardi yang mengantar beliau melontarkan pernyataan tersebut bermakna menanti sesuatu yang lebih baik (kerinduan) dan bukan rasa takut atau cemas karena pengarang perempuan bakal mendominasi laki-laki. Itu berarti kegelisahan Sapardi bukan omong kosong atau semu. Sapardi justru melihat peluang lahirnya pengarang perempuan yang lebih banyak. Ada semacam kerinduan terdalam seorang Sapardi supaya perempuan kembali kepada kesederajatannya dengan laki-laki. Dengan membenarkan ungkapan Mario, tidak ada ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ setelah kata pengarang. Di samping itu, Sapardi tidak semata mengakarkan pernyataannya dalam konteks penilaian karya-karya waktu itu, tetapi melihat kemungkinan lain di masa yang akan datang. Adalah sangat mungkin kalau pengarang perempuan lebih banyak ketimbang pengarang laki-laki untuk beberapa tahun ke depan.

Sastrawan NTT (yang) Gelisah?
 Seorang sastrawan sejati ialah sastrawan yang perlu merasa gelisah. Tampak jelas sekali kita sedang mendapati satu bentuk kegelisahan seorang Sapardi. Kalau seorang sastrawan senior seperti Sapardi sudah merasa gelisah, apalagi sastrawan-sastrawan lainnya. Bertolak dari sini, penulis hendak mengajak adalah baik sastrawan NTT gelisah kalau nanti akan muncul banyak pengarang perempuan atau perempuan yang menulis lebih banyak ketimbang laki-laki. Hemat penulis, ini hal yang positif. Tidak mengurangi rasa hormat terhadap Mario, pernyataan Sapardi di atas sebenarnya membingkai sebuah kritik terhadap dunia sastra, khususnya di NTT. Artinya, kritik bukan hanya untuk pengarang perempuan saja, melainkan juga para sastrawan atau pengarang laki-laki. Mengapa kritik?
Pertama, sastra yang dianggap sebagai hasil ‘onani’. Sebuah opini Dody Kudji Lede menggarisbawahi kalau sastra bukan lahir dari hasil onani, sehingga perlu disadari bahwa sastra bukan hanya soal laki-laki, tetapi juga perempuan (PK, 1/3/2014). Ketika menyentil opini Dodi K. Lede dalam diskusi kecil di facebook, Mario mengatakan kalau Pos Kupang menurunkan opini tersebut dengan muatan politik. Hemat saya, Harian Pos Kupang menurunkan opini ini bukan karena intensitas politik, tetapi karena memang sangat perlu untuk membuka pemahaman publik bahwa sastra itu harus dihidupi baik oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika berbicara soal ‘onani’, maka ada tendensi kalau laki-laki merasa super dan mengatakan hanya laki-laki yang bisa beronani. Atau hanya laki-laki yang lebih banyak menulis tentang sastra. Benarkah demikian?
Kalau kita menengok sastrawan Indonesia, misalnya Joko Pinurbo, Goenawan Mohamad, Sutardji C. Bachri, Dami M. Toda, Gerson Pyok,  atau sastrawan muda NTT seperti Mario F. Lawi (yang saya bicarakan dalam tulisan ini), Ishack Sonlay, Gusti M. Raya, dan lainnya, bisa dikatakan kalau banyak penulis itu laki-laki. Namun, hal yang perlu diperhatikan ialah kita harus menghapus kata ‘onani’ dalam ranah sastra.
Kedua, sastra yang dianggap tidur dalam kulkas. Saya mengutip bunyi dua baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan dengan seekor anjing”. Bunyinya demikian, “AKU tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik (Media, 02/02/03).   Hemat saya, Afrizal sebetulnya mengajak siapa saja untuk tidak tidur dalam pemikirannya sendiri serentak memutlakan kultus-kultus yang ada (pembekuan pemikiran). Itu berarti laki-laki perlu keluar dari pemikirannya, keluar dari ‘kulkas’ tempat membekukan makanan. Afrizal justru mengajak, Aku tidur di depan sebuah kulkas untuk menangkap suara kulkas berdengung seperti kaus kaki di siang hari yang terik. Afrizal menggunakan kata ‘Aku’, aku yang tidur tetapi membuka mata, aku yang tidur tetapi mendengar ‘suara’ dari dalam kulkas.
Pesan ‘suara’ dalam puisi Afrizal bisa bermakna jeritan pengarang perempuan yang sedang berjuang saat ini. Sedangkan ‘kulkas’ adalah suatu tempat menyimpan kata ‘perempuan’ sebagai orang-orang yang dibekukan, yang kurang diberi apresiasi dan motivasi. Karena itu, sastrawan perlu pekah mendengar ‘suara’ yang muncul di sekitarnya. Sastrawan mesti tidur di luar ‘kulkas’ untuk kemudian mendengar pesan ‘suara’ tersebut. Inilah yang Ignas Kleden sebut sebagai satu bentuk kegelisahan politik seorang sastrawan, yaitu kegelisahan melihat hubungan manusia yang satu dengan yang lain, atau kegelisahan ‘aku’ sastrawan dalam melihat pengarang perempuan yang ada di sekelilingnya.
‘Aku’ perlu gelisah karena merindukan perubahan, atau sebuah kerinduan ‘aku’ untuk  menghapus kata ‘onani’ dalam ranah sastra. Dengan kata lain, sastrawan muda seperti Mario F. Lawi perlu gelisah untuk kemudian mengubah suatu proses ‘pembekuan’ soal sastra sebagai miliknya laki-laki saja. Kembali kepada Mario. Apakah mengamini atau sebaliknya, penulis hanya memberi input positif karena anggapan bahwa sastra hanya tidur sebagai sebuah kesimpulan umum dalam otak laki-laki (banyak penyair adalah laki-laki) akan  menciptakan jurang pemisah antara pengarang perempuan dan sastrawan.
Dengan begitu, barangkali pengarang perempuan akan mempertanyakan eksistensi penyair laki-laki, apakah Si A sungguh-sungguh penyair yang pekah atau sebaliknya? Ataukah Si B menulis dengan satu orientasi memecahkan persoalannya sendiri di mata pembaca atau publik NTT? Hal ini bisa menjadi mungkin, kalau dalam ranah sastra NTT masih memberlakukan kata ‘onani’ dan mengedepankan sisi ‘kulkas’ sebagai pembekuan pemikiran laki-laki terhadap pengarang perempuan NTT.  
Oleh karena itu, komentar saya tersebut di atas, yang mana mengutip pernyataan Sapardi tersebut sebetulnya memotivasi dan mengapresiasi perempuan (baca: Diana Timoria), dan mengajak ‘kita’ untuk saling melengkapi dalam ranah satsra NTT. Kegelisahan Sapardi adalah biasa dalam diri setiap pengarang (sastrawan). Oleh karena itu, pernyataan Sapardi tersebut menjadi sebuah ajakan bagi Sastrawan NTT supaya membuka mata, mendengar, serentak merasa gelisah bahwa tidak ada kata ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ setelah kata ‘pengarang’ di masa-masa mendatang.*

“Teologi Dosa” dalam Sepenggal Sajak Eto Kwuta


Oleh: Willy Gaut*

      Pujangga Sandal Jepit edisi 19/thn. IV/20 Sept-20 Okt. “12 pada halaman 2 memuat 3 judul sajak racikan seorang rekan dan saudara serumah saya, Eto Kwuta. Walaupun ketiga-tiganya menarik, rasanya saya lebih tergerak untuk mengomentari secara singkat sajak kedua dengan judul “Sajak Orang Berdosa”.

 Aku debu pada kaca
Hanya setitik nila pada susu sebelanga
Seperti kayu pada perapian
Sekali berarti setelah itu abu
Apakah tak ada jalan kembali untuk yang salah?
Aku debu pada kaca
Kau yang kusapa tak bicara
Inikah yang disebut cinta?

St. Mikael-Ledalero, 2012.

      Saya tidak berpretensi memasukkan Eto Kwuta dalam deretan para teolog yang membuat refleksi sistematis atas dimensi hidup tertentu, entah melalui traktat teologis yang sistematis, lukisan, novel, atau juga praksis kemanusiaan tertentu. Tapi harus saya akui bahwa sajaknya berjudul “Sajak Orang Berdosa” sarat dengan muatan teologis. Dua larik awal sajak ini mengungkapkan salah satu aspek ajaran tentang dosa dalam teologi kristen.
“Aku debu pada kaca/
hanya setitik nila pada susu sebelanga”.
      Teologi Kristen mengajarkan bahwa selain berdimensi individual, dosa juga berdimensi sosial. Berdimensi individual karena dosa adalah tindakan bebas dari seorang pribadi/individu. “Pada dasar situasi dosa selalu ada seseorang yang berdosa.” Namun, dosa sebagai tindakan pribadi memiliki efek sosial, yakni merusak tatanan sosial kemasyarakatan. Apa pasal? Dosa individual dalam cara tertentu mempengaruhi sesama atau orang lain.
      Pengertian dasariah tentang dosa sosial ini lalu diperluas dalam pengertian sebagai dosa melawan keadilan dan melanggar HAM dalam relasi antarpribadi dalam masyarakat. Dosa sosial ini dapat terlanggengkan dalam stuktur-struktur sosial yang menindas.
      Dalam “Sajak orang berdosa”, muatan teologis itu digambarkan secara gamblang dalam penggalan “hanya setitik nila pada susu sebelanga”. Setitik nila pada akhirnya merusak susu sebelanga, layaknya dosa seorang individu dapat merusak tatanan sosial secara keseluruhan. Meskipun tidak seluruhnya identik, efek nila terhadap susu dapat menjadi analogi untuk menjelaskan efek sosial dosa individual.@ 

*Biarawan Misionaris SVD. 

ANALISIS CERITA RAKYAT RAJA SIRAMUDUK DAN MARGA LANGOBELEN (Sebuah Kajian Struktural)


                                                                Oleh: Eto Kwuta dkk.
               Makalah ini pernah dibawakan dalam kuliah Seminar Sastra Lisan di Ledalero



1.    Latar Belakang
Seluruh sejarah kehidupan manusia yang mengabadikan diri dalam kebudayaan dilihat sebagai warisan yang perlu dilestarikan, namun kelemahan manusia dalam hubungan dengan sejarah adalah amnesia. Akibatnya, kearifan lokal yang diwariskan secara lisan dilupakan begitu saja. Maka, tulisan ini mencoba mengatasi amnesia sejarah sekaligus melestarikan yang lisan dengan cara mengabadikannya dalam bentuk tulisan. Dalam hal ini, cerita lisan tentang Raja[1] Siramuduk dan Marga Langobelen Di Desa Lamawara, Kabupaten Lembata.
Kelompok mengkaji cerita rakyat tersebut dengan menggunakan teori strukturalisme model Levi-Strauss.[2] Bagaimana struktur atau unsur intrinsik dari cerita rakyat Raja Siramuduk dan Marga Langobelen dan apa makna yang dapat dipetik dari cerita rakyat tersebut? 

2.    Metodologi Penulisan
Metode yang dipakai kelompok dalam menelaah dan mendalami tulisan ini adalah metode penelitian pustaka dan wawancara dengan informan kunci. Kelompok tidak berhenti pada pendekatan yang kaku dimana berkisar hanya pada struktur cerita seperti yang menjadi kekhasan model Levi-Strauss tetapi berlangkah lebih jauh dalam proses analisa, dengan mengapresiasi dan mengkaji makna dari cerita rakyat tersebut

3.    Gambaran Umum tentang Desa Lamawara
Desa Lamawara adalah sebuah desa yang terdapat di kecamatran Ile Ape, Kabupaten Lembata. Pada umumnya, penduduk desa ini bertani dan bercocok tanam. Tanaman yang menjadi penghasilan warga ialah jambu mete dan kelapa. Pada musim hujan, yaitu dari bulan November sampai April, warga memanfaatkannya untuk menanam berbagai jenis tanaman yang dapat membantu mereka untuk melanjutkan hidup. Tanaman-tanaman itu berupa jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Selain untuk dikonsumsi, hasil tanaman juga dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Agama yang dianut oleh warga setempat adalah Katolik dan Islam, dan mayoritas penduduknya beragama Katolik. Desa Lamawara adalah pemekaran dari desa Bungamuda pada tahun 2009. Letak Desa Lamawara kira-kira 21 KM di bagian utara dari kota Lewoleba, Ibu Kota Kabupaten Lembata. 

4.    Cerita Prosa Rakyat Raja Siramuduk dan Marga Langobelen dalam Bahasa Daerah Lamaholot[3]
Raya Siramuduk Mehin Lodo Suku Langobeleken[4]
Mei ehaken jadi taling ti kakan naen di hama ari naen ka tula tang di mete peten meri nepe go kakak arik. Kalo peten sainga seme nepa peti ari leta tolong di kaka gehing hala, kaka leta di ari nodi tor dore. Kiring nepi ama genang ana ti Raya Siramuduk gute onen nai hode kawil lusi lein kawat magarai arin Raya Patilaka naen ti nang seba nakenen. Onen kelemuren nai toal lodo ro te lewa tukan kawil lusi lein kawat magarai nepe getunga. Nete pana senarhen ro balik beto nala bedathan ka nai nuru te arin Raya Patilaka ro arin apanen gehing maten onen hode bedathan hala ti huda gate heme ulin helo nekhun na sorong pana. Suker gere maring bisa hala ro weli nimoka gehing maten ka Raya Siramuduk gute lein lodo pana, nai tobo pakan lewa lolon sampe ikan lephak dai mariro meri ata belen kamen ikan io te tahik onen pe nungara bebelara ka leta dike o ama Raya Siramuduk, mo puli pal na uhe beng go seba sorongo kawil lusilein kawat magarai. Raya onen leteng lumuten ti nadong dore nai puli pal sampe ata belen raen sareka. Lephak peten budi Raya ka nai seba kawil lusi lein kawat magarai yang nolo pernah getunga te lewa tukan, nete beto sororo apanen. Peten pai sainga ka ata belen raen ikan io yang Raya temeko nungaren nepe hadiahro nohung tonu alo bala lau tasik dai. Raya Siramuduk nete kawil lusi lein kawat magarai nepe dai langsung serah sorong te Raya Patilaka liman karena na gahin naen meri harus balik helo na hode nekhun.
Nuan pai musim hode, Raya Patilaka mau nang dagel. Wia erem ria ia arin suker ka pai dahang kakan, ti hode kawil lusilein kawat magarai, pi leron kakan tudak ka nai seba arin. kiring nepi ata  kiring nolhon ama genang ana. Meri kaka naen hama ari naen, ari naen di helo kaka naen. Leron tou naen, Raya Patilaka tula dagel butuh tahan ti pao ribu ka nai hode nohung tonu alo bala Raya Siramuduk naen yang io sororo nolo. Nalan aku seme pelate ti alo Raya Siramuduk naen nepe  bolaka nolo hupeng laran. Nai gepar weli Raya Siramuduk pero kiring menun te onen lohe wati. Moen data di harus balik helo nekhun ka goen data di gate helo mo huda nolo. Nepi peti tale bote ehaken di toi wekiket loka karna kiring ama genang ana tite luparo kae.
            Mei ehaken ti take ekumu pana ponu dei tedeng hama-hama ti gelekat lewo mayang naran paken maken ro mei banga te nubhek wutun ka heku naen bo deket pe na dei kedepa ro take peti tobang tika saek tanah. Ekan bedathan ro Raya Siramuduk onen keru baki ti nai seba tena layhan dei pelae balut jaga tuber senarhen yang Ama Lera Wulan sorong. Dei pana dore angin lewhan, ole nete wura bawang, nete nai beng na lok tobo asal moriwen ti beng usa daya.
Raya Siramuduk tibang tanah nai sainga te lewo Lamawara. Na lok liwang nebong tena lulun laya, na pana dai nang onen kelemuren. Lewo letengen taping dai ka na gawe gere mete gekat biar onen mete suker tudak. Dai saing, tena na nete teti seran lodo gelhuna nang wato ti ribu pi Lamawara pakeno rang Wato Dulang, temoda naen ra pakeno rang Wato Peni.
***
Tun dai wulan haka na tei tobo te wato tou lolon rae lewo . Nai ola man, nai peret tuak, nai metin ti piara badan balut jaga mei naen nang sare-sare.Leron tou naen, ana muringen lali Lewotolok ata lewo papaken haka seba tuak. Rai bongat tuak lolon, teti hemeka bewahaken kae. Roi hala heku naen tapi ra gute rete. Nai hoghon di hama nepa  ro pas ra saing, ra denge kayo tou di bolak hala ro mian ra rahina, ekan seme ata hamanga. Ra tutu maring nepa te ata belen lali Lewotolok ka ata belen lali hudawe meri rai gute muri ro ra gute wahak, ahan rahina ro tou harus niana ti nang noi ekan. Tobo pakan te ekan peneten, lelay hala na noi amak tou nang peladhen lau watan dai, wekin rawun gole-gole mete pana, dai tobola te wato tou.
Ana muringen yang noi nepe, na balik tutu lali ata belen lewo lolon. Ra gahin haka meri rewaro ti roiro ketun meri nepe heku. Leron tou naenen na mupul kayak ti haka pakano sampe rewaro ti pona meri roro rahina te Lewotolok. Raya Siramuduk gehing maten karna wekin ale take. Ale naen hanya ehaken te wekin teti Seran Goran lodo ka lera patok uran lou ti bihan belhana kae. Nara lali Lewotolok repe sororo senawet nang letu wekin ti roro rahina lali Lewotolok. Pana laran lola kae, Raya Siramuduk leta edek ti na mula wato tou te noan supaya jadi temutu lau laran ana genang ana. Sedan saing te lango ata belen Lewotoloken naen, belilin beto hibat rehi. Rai lile Raya aen te rawun kibe ratan te kowot. Hae roiro onhena nebe tungen ro hae rebe pesilek welu.
Nuan pai mete pai, Raya tugu jaga lango tukan ata belen raya lali Lewotolok ro Raya Siramuduk hemeka nong kuat kemuhalen naen ti ata belen raya Lewotoloken gute onen meri hodiro gere lango tukan ti sogang papang no ana naen nimun nabe jadi. Ata belen anaken kebarek ata pito ti hudaro pile tou ka Raya Siramuduk matan teka nala kebarek tuho wutun naranen Naru Ata Sekang. Tei rang mupulen lango ehaken sare-sare kae ro raya Siramuduk peten nang doan-doan ti nai leta ata belen raya meri rahina tei lewo Lamawara ti tibul gewak mei worak naen, pero sayang Raya pewelik ina Naru Ata Sekang wati.
Ina Sekangen te Raya liman kae ro witi paha bala hope wati ka lein lau laran kae di Raya mo gawe bisa hala. Gawe lewa nala teti lewo Seran lodo ka bala ueken tou di naen take. Raya hanya neka koli ketulisen nong aran belughan ti nang kuat kemuhal naen pero bala naen take ka nodi gute ti nang sorong ama ata belen raya. Ama pe di nodi tor dore puken koli ketulisen nong aran belughan nepe nong kekuatan naen. Koli ketulisen nong aran belughan hodiro kae ka ata belen raya lewo  Lewotolok sorong berkat ti lok pana ana naen teti lewo Lamawara ti mei tawa tika tanah, worak bage loing ekan ti tibul gewak nuba nara ata suku Langobeleken sampe pi leron.  

5.    Terjemahan Cerita Raja Siramuduk dan Marga Langobelen[5]
Konon dahulu kala Raja Siramuduk dan saudaranya Raja Patilaka berseteru karena Kawil Lusilein, Kawat Magarai dan Nohung Tonu dan Alo Bala. Awalnya Raja Siramuduk meminjam Kawil Lusilein dan Kawat Magarai untuk memancing tapi alat itu diputuskan oleh ikan. Saudaranya Raja Patilaka meminta harus mengembalikan mata kail itu seperti bentuknya semula. Lalu Raja Siramuduk menunggu di atas batu besar di atas laut sambil berharap ditemukan kembali alat kail itu. Berkat bantuan ikan kecil kail dan benangnya itu dapat ditemukan kembali karena Raja Siramuduk dapat mengobati Raja Ikan (Hiu) yang kesakitan karena tersangkut mata kail tersebut. Sebagai imbalan atas penyembuhan tersebut Raja Siramuduk dihadiahkan oleh Raja Ikan sebuah Lesung dan Alu, yaitu Nohung Tonu dan Alo Bala. Sesampainnya di darat Raja Siramuduk mengembalikan mata kail asli tersebut kepada kakaknya Raja Patilaka.
            Suatu hari Raja Patilaka membuat pesta dan meminjam Lesung dan Alu milik adiknya untuk menumbuk padi. Oleh karena kurang hati-hati menggunakan Lesung dan Alu tersebut, akhirnya Alu tersebut patah dan kakaknya Raja Patilaka meminta maaf dan berniat untuk menggantinya dengan Lesung dan Alu lain, tetapi Raja Siramuduk masih dendam dan sakit hati karena perilaku kakaknya saat mata kailnya putus. Oleh karena itu, Raja Siramuduk meminta ganti seperti sediakala. Dengan demikian, perseteruan semakin tajam dan terjadi perang saudara antara Raja Patilaka dan adiknya Raja Siramuduk.
 Perang saudara semakin tidak bisa didamaikan lagi maka Raja Siramuduk mengambil keputusan untuk meninggalkan kampung halaman dengan berlayar mengikuti arah angin dan arus gelombang (Ole Nete Wura Bawang). Raja Siramuduk berlayar dari satu pantai ke pantai yang lain sambil melihat kondisi alam dan mengambil lokasi yang cocok agar bisa menentukan pilihan untuk berlabuh dan mendarat demi membangun hidup yang lebih sejahtera (Tibang Tanah).
            Raja Siramuduk sampai di kampung bernama Lamawara[6]. Di situ, Siramunduk  Lok Niwang Nebong Tena, Lulun Laya[7] dan menetap di kampung itu. Menurut cerita, perahu atau tena yang ditumpangi Raja Siramuduk berubah menjadi batu besar yang kemudian disebut  Wato Dulang, sedangkan sekoci Temoda berubah menjadi batu ceper, yaitu Wato Peni.
***
            Selama bertahun-tahun Raja Siramuduk tinggal sendirian di atas sebuah batu besar dengan diameter lingkaran seluas lima meter persegi tanpa dilindungi atap. Aktivitasnya sehari-hari adalah bertani, sadap tuak, dan berkarang di pantai untuk mencari siput dan kerang agar bisa dikonsumsi. Dalam waktu yang lama itu, pakaian yang dikenakan Raja Siramuduk tidak dapat bertahan dan ia tidak memiliki pakaian pengganti sehingga Siramuduk hidup tanpa selembar benang di badan.
Pada suatu hari, rombongan pemuda dari Lewotolok[8] mengambil sadapan tuak (Hore Tuak) untuk upacara adat. Pada saat mereka memanjat dan mengambil tuak suasana alamnya sangat sepi. Setelah beranjak pulang mereka mendengar suara ramai orang banyak. Hal ini mereka sampaikan kepada para tua-tua adat di kampung Lewotolok dan mereka menyarankan agar mereka kembali ke lokasi tersebut dan mengambil tuak seperti biasanya. Ketika rombongan itu pulang, mereka menyuruh seorang dari antara mereka bersembunyi di sekitar lokasi untuk memantau apa yang terjadi sebenarnya. Dengan sangat hati-hati, seorang pemuda yang bersembunyi itu mengamati lokasi tersebut. Tiba-tiba ia melihat dari arah pantai muncul seorang yang berbadan tegap dan kekar tanpa selembar benang di badan dan berjalan menuju sebuah batu besar. Dengan cermat direkamnya apa yang terjadi di lokasi itu. Si pemuda itu meninggalkan tempat itu tanpa diketahui orang asing itu. Kemudian, ia pergi menceritakan apa yang dilihatnya kepada tua-tua adat. Atas perintah ketua adat, merkeka menangkap orang itu agar bisa mengatahui siapa sebenarnya orang asing itu.
Setelah mendengar perintah ketua adat, rombongan pemuda pergi menangkap Raja Siramuduk dan ia dipaksa untuk mengikuti mereka. Dengan keras ia menolak karena ia tidak mengenakan pakaian. Lalu para pemuda memberikan selembar sarung senawet untuk dipakainya dan rombongan tersebut membawa Raja Siramuduk ke Lewotolok. Dalam perjalanan ke Lewotolok di sekitar perbatasan kampung Lamawara dan Lewotolok, Raja Siramuduk meminta untuk menanamkan sebuah batu sebagai tanda turun temurun peristiwa bersejarah sekaligus sebagai tanda peringatan. Sesampainya mereka di Lewotolok semua masyarakat berduyun-duyun ke rumah ketua adat untuk melihat orang asing yang bernama Raja Siramuduk. Ia berambut panjang dan berkumis  tebal karena tidak pernah dicukur. Ada masyarakat yang merasa iba, tetapi ada juga yang mengolok.
Selama beberapa hari berada di rumah ketua adat, Raja Siramuduk menunjukkan kemampuan khususnya sehingga ketua adat mengambil keputusan untuk mengawinkan Raja Siramuduk dengan salah satu putrinya dengan tujuan mulia, supaya Raja Siramuduk bukan sekadar orang asing tetapi merupakan bagian dari keluarganya. Dari ketujuh putrinya, ketua adat menyuruh Raja Siramuduk untuk memilih salah seorang untuk dinikahinya. Raja Siramuduk lalu memilih putri bungsu yang bernama Naru Ata Sekang.
Setelah ada bersama dalam waktu yang cukup lama, Raja Siramuduk memutuskan untuk pindah ke kampung Lamawara agar bisa membangun keluarganya sendiri namun kendala yang dihadapinya adalah ia belum memberikan belis kepada ketua adat. Belisnya berupa gading dan sebagai orang asing ia tidak memiliki apa-apa. Ia hanya memiliki Koli Ketulisen dan Aran Belugahan[9]. Ia lalu menawarkan kepada bapa mantunya agar memberikan mahar itu sebagai pengganti Bala atau gading. Hal itu disetujui oleh keluarga karena diketahui benda tesebut memiliki nilai sakti atau magis dan masih tersimpan sampai sekarang di rumah adat. Atas persetujuan ini, Raja Siramuduk diijinkan pergi bersama istrinya Naru Ata Sekang untuk menetap di Desa Lamawara. Mereka hidup dan meneruskan keturunannya sampai beberapa generasi yang ada di Desa Lamawara saat ini.

6.    Analisis Cerita Rakyat Raja Siramuduk dan Marga Langobelen
6.1 Tema
Cerita rakyat ini dilatarbelakangi oleh perseteruan antara kakak dan adik, yaitu Raja Patilaka (kakak) dan Raja Siramuduk (adik). Perseteruan ini bermula dari persoalan Kawil Lusilein, Kawat Magarai dan Nohung Tonu dan Alo Bala. Kawil Lusilein, Kawat Magarai dipinjam oleh Raja Siramuduk, tetapi tidak dijaga dengan baik. Begitu juga sebaliknya, Raja Patilaka sebagai kakak meminjam Nohung Tonu dan Alo Bala, tetapi tidak menggunakannya dengan hati-hati. Berdasarkan peristiwa ini, Raja Siramuduk memutuskan untuk keluar dari kampung halamannya demi menghindari perseteruan dengan kakaknya Raja Patilaka. Perseteruan atau perselisihan menentukan seluruh perjalanan Raja Siramuduk. Peristiwa tersebut menjadi titik awal Siramuduk memulai kehidupan baru. Siramuduk menyerah pada keadaan dan menghindar dari persoalan yang dihadapi untuk mencari jati dirinya. Perseteruan kadang menyebabkan pembunuhan. Untuk itu, Siramuduk sudah berpikir lebih jauh soal akibat dari perseteruan tersebut. Adanya paradigma berpikir yang lebih maju. Dari situ, terjadilah petualangan Raja Siramuduk mengarungi hamparan ombak dan gelombang laut hingga sampai di daerah pantai Lamawara.
Melihat latar belakang peristiwa tersebut, maka ada dua tema yang tampak yaitu perjuangan untuk keluar dari persoalan hidup demi membangun hidup yang lebih baik. Tema kedua ialah keputusan untuk hidup mandiri (menetap di suatu tempat yang baru).
 
6.2 Alur
Frans Mido mendefinisikan alur sebagai berikut,
Alur adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung dalam sebuah peristiwa berdasarkan sebab-akibat. Hukum sebab-akibat merupakan unsur penting dalam sebuah cerita berdasarkan alur, karena tanpa hubungan ini jalinan peristiwa tidak bisa dinamakan alur.[10]
Alur yang dibangun berjalan maju (progresif) dan juga dapat berjalan mundur (regresif). Dalam cerita tersebut, alur berjalan maju (progresif), yaitu menuju suatu klimaks. Hal ini berawal dari perseteruan, usaha untuk keluar dari perseteruan, pertemuan dengan orang Lamawara dan Lewotolok, perkawinan, dan membangun hidup berkeluarga yang menghasilkan keturunan sampai saat ini. Alur yang dibangun mengalir sampai pada klimaks dari cerita.

6.3 Konflik
Konflik yang terdapat dalam cerita tersebut berupa perseteruan antara Raja Patilaka dan adiknya Raja Siramuduk. Konflik juga tampak ketika Raja Siramuduk berhadapan dengan perubahan tempat, orang-orang, dan situasi sosial budaya yang tidak dialami sebelumnya. Konflik tampak dalam kalimat; Dahulu kala Raja Siramuduk dan saudaranya Raja Patilaka berseteru karena Kawil Lusilein, Kawat Magarai dan Nohung Tonu dan Alo Bala. Awalnya Raja Siramuduk meminjam Kawil Lusilein dan Kawat Magarai untuk memancing tapi alat itu diputuskan oleh ikan. Saudaranya Raja Patilaka meminta harus mengembalikan mata kail itu seperti bentuknya semula. Konflik muncul juga di dalam pribadi Raja Siramuduk, yaitu pergulatan batin ketika berhadapan dengan kondisi wilayah atau tempat pertama kali Siramuduk menetap. Di dalam cerita dijelaskan, Raja Siramuduk sampai di kampung bernama Lamawara. Di situ, Siramunduk Lok niwang Nebong Tena, Lulun Laya dan menetap di kampung itu. Dengan demikian, pergulatan batin Raja Siramuduk menjadi semakin tampak, ketika dijelaskan lebih jauh bagaimana Siramuduk hidup dari hasil kerjanya dengan bertani, sadap tuak, dan berkarang di pantai untuk mencari siput dan kerang agar bisa dikonsumsi. Di sini terdapat sentuhan antara aspek humanitis Raja Simaruduk dengan kondisi alam di mana ia sampai dan memutuskan untuk menetap.

6.4  Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian, gaya dalam cerita Raja Siramuduk ini berupa cara pengungkapan pemilik cerita kepada orang lain seturut apa yang diingat berdasarkan memori. Jadi, bahasa yang ditampilkan memiliki ciri tersendiri, yaitu merujuk pada kejadian masa lalu, yang tampak dalam wacana: pada suatu hari, konon dahulu kala, dan sebagainya.[11] Di dalam cerita Raja Siramuduk dan Marga Langobelen tampak jelas wacana yang terdapat pada awal cerita, yaitu konon dahulu kala. Artinya, dalam sebuah cerita rakyat, wacana-wacana yang dimaksud tidak selamanya digunakan dalam menceritakan sebuah dongeng maupun mitos. Setiap pemilik cerita selalu memakai gaya penceritaan yang bervariasi berdasarkan apa yang diingat. Dengan begitu, gaya pengungkapan berdasarkan memori ini masih sangat terbatas.

6.5  Setting
Setting pada umumnya menyangkut lingkungan geografi, sejarah, sosial, dan bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung.[12] Setting dalam cerita Raja Siramuduk dapat digambarkan sebagai berikut.
Penutur cerita bersangkutan menceritakan apa yang diyakini berdasarkan daya ingat tanpa melupakan setting yang mewakli realitas kampung. Situasi nyata yang dijumpai, misalnya laut, pantai, dan lain-lain. Hal ini tampak dalam kalimat; Lalu Raja Siramuduk menunggu di atas batu besar di atas laut sambil berharap ditemukan kembali alat kail itu, atau tampak juga pada kalimat, Raja Siramuduk berlayar dari satu pantai ke pantai yang lain sambil melihat kondisi alam dan mengambil lokasi yang cocok agar bisa menentukan pilihan untuk berlabuh dan mendarat demi membangun hidup yang lebih sejahtera (Tibang Tanah).

6.6    Apresiasi Cerita Rakyat Raja Siramuduk dan Marga Langobelen dalam Hubungan dengan Analisis Mitos Model Levi-Strauss
Cerita rakyat Raja Siramuduk dan Marga Langobelen  sebenarnya merupakan perpaduan dua cerita, yaitu petualangan Raja Siramuduk dan perkawinan dengan Putri Naru Ata Sekang. Di sini, ada beberapa hal yang diapresiasi dan diberi catatan kritis.
Pertama, cerita tersebut tidak selalu relevan dengan sejarah dan kenyataan. Dalam kajian Levi-Strauss, mitos dilihat tidak lebih sebagai dongeng yang merupakan kisah yang lahir dari imajinasi manusia. Melalui dongeng, tercipta khayalan manusia sehingga khayalan tersebut memperoleh kebebasan mutlak, karena manusia bebas menciptakan apa saja. Cerita Raja Siramuduk dimulai dari perseteruan yang kemudian dihubungkan dengan ikan kecil dan juga ikan Hiu. Ikan kecil meminta Raja Siramuduk mengobati raja ikan Hiu supaya ikan tersebut membantunya menemukan kail. Siramuduk pun dihadiahkan raja ikan tersebut Nohung Tonu dan Alo Bala. Cerita tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah dongeng dan mitos apabila cerita ini dihubungkan dengan pemahaman Levi-Strauss mengenai mitos. Levi-Strauss mengklaim sebuah cerita adalah mitos karena di dalamnya terdapat wacana seperti, konon dahulu kala, atau pada suatu hari. De facto, cerita tersebut dilanjutkan dengan pertemuan Siramuduk dengan orang-orang Lamawara. Tampak jelas bahwa ini merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lalu, namun dihubungkan dengan cerita awal  Raja Siramuduk.
Kedua, cerita Raja Siramuduk ini mungkin ada kesamaan atau kemiripan dengan cerita rakyat, dongeng, maupun mitos di berbagai wilayah tetapi menjadi cerita prosa yang khas di mana menjadi cerita asli penduduk Desa Lamawara. Levi-Strauss mengungkapkan bahwa seringkali ada kesamaan atau kemiripan di antara dongeng di berbagai wilayah sehingga perlu dikritisi kalau kemiripan atau kesamaan tersebut bukan hanya terletak pada sebagian tokoh, melainkan beberapa unsur terkecil seperti batu, pantai, yang pada umumnya juga dipakai.
Ketiga, cerita tersebut menjadi unik jika dihubungkan dengan pandangan Levi-Strauss bahwa mitos memiliki struktur tertentu yang satu sama lain ada keunikan. Oleh karena itu, cerita Raja Siramuduk dan Marga Langobelen memiliki struktur yang unik karena terdiri dari dua bagian cerita. Kedua bagian cerita tersebut bisa dikatakan sebagai dongeng dan mitos.[13]
Keempat, kajian model Levi-Strauss ini justru mengukuhkan teori historis-komparatif (Mazhab Finlandia) yang menggolongkan cerita rakyat berdasarkan dua kriteria, yaitu type dan motif.[14] Type berarti penggolongan cerita berdasarkan tipe atau jenisnya, misalnya animale tales (dongeng binatang), sedangkan motif berupa unsur terkecil dalam sebuah cerita (narratives elements). Misalnya, benda, hewan ajaib, konsep, perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh, dan orang tertentu yang sangat pandai. Di satu sisi, cerita rakyat raja Siramuduk dan Marga Langobelen memiliki tipe dongeng yang mengandung unsur-unsur cerita berupa benda seperti Kawil Lusilein, Kawat Magarai dan Nohung Tonu dan Alo Bala, atau hewan ajaib berupa ikan kecil dan ikan hiu yang membantu Siramuduk, dan lain-lain. Namun, di sisi lain, cerita Raja Siramuduk merupakan sebuah cerita yang diyakini benar-benar terjadi pada masa lampau atau merupakan sebuah legenda yang terus dituturkan oleh pemiliknya dari generasi ke generasi.

7.    Penutup
Cerita Raja Siramuduk dan Marga Langobelen adalah cerita lisan yang diteruskan dari generasi ke generasi. Cerita ini secara umum menggambarkan perjuangan seorang Raja Siramuduk untuk keluar dari konflik yang melilitinya, mulai dari konflik fisik yang terjadi dengan kakaknya Raja Patilaka, kemudian konflik batin ketika ia hidup sendirian di atas sebuah batu besar dan Ia juga harus berjuang untuk bisa menaklukkan hati kepala suku untuk menggantikan gading dengan koli ketulisen aran belugahan sebagai  belisnya.
Cerita ini mengamanatkan kepada kita bahwa hidup adalah suatu perjuangan yang harus dihadapi. Ada begitu banyak persoalan yang menimpa hidup kita tetapi kita sebaiknya berjuang untuk mencari dan menemukan solusinya. Selain itu cerita ini juga memberi pesan moral kepada kita agar selalu membangun relasi yang harmonis dengan alam serta memberi respek yang tinggi untuk kaum hawa. Dengan demikian, cerita Raja Siramuduk bukan saja terkurung dalam bingkai sejarah Marga Langobelen di Desa Lamawara tetapi terus dan senantiasa menjadi inspirasi moral yang tetap relevan sepanjang masa.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service, 2013
Mido, Frans. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende: Nusa Indah, 1994.
Nara Kean, Rofinus. (comp.). Selayang Pandang Budaya Lamaholot. Larantuka: Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur, 2008.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Internet
Setyianingsih, Wahyu. “Levi-Strauss: Strukturalisme dalam Karya Sastra”.(http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/18/levi-strauss-strukturalisme-dalam-karya-sastra-525721.html, diakses 22 April 2014).
Wawancara
Langobelen, Simon “Sejarah Raja Siramuduk dan Marga Langobelen”. 17 September 2014. (Ketikan).



    [1]Raja dalam cerita rakyat ini  bukan seorang raja atau seorang yang berdarah bangsawan. Raja   yang dimaksud ialah  identitas dari pribadi tertentu yang sering   disebut Raya.
       [2]Claude Levi-Strauss merupakan salah satu ahli antropologi berkebangsaan Perancis. Lahir pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Pada tahun 1927 ia masuk Fakultas Hukum Paris dan belajar filsafat di Universitas Sorbonne. Pada tahun 1932, ia menikah dengan Dina Dreyfus, memasuki dinas militer, dan menjadi pengajar di Montde-Marsan Iycee. Tahun 1950, ia diangkat menjadi direktur penelitian bidang agama di Ecole Pratique des hautes Etudes, yang diubah namanya menjadi Religious Comparess des peoples sans Ecriture (Comparative Religions of Peoples without Writing). Kemudian tahun 1953 menjadi sekertaris jendral International Council of Social Sciences. Hasil karyanya tahun 1958, Anthropologie Structurale, dan tahun 1973, Anthropologie Structurale deux. Kemudian, ia menjadi guru besar antropologi sosial pertama di College de France. Ia mendirikan Laboratoire d’Anthropologie Sociale dan meluncurkan jurnal antropologi berbahasa Prancis, I’ Homme: Revue francaise d’ anthropologie. Wahyu Setyianingsih, Levi-Strauss: Strukturalisme dalam Karya Sastra, (http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/18/levi-strauss-strukturalisme-dalam-karya-sastra-525721.html, diakses 22 September 2014).
       [3]Lamaholot berasal dari kata lama yang berarti bagian atau wilayah, dan holo yang berarti sambung. Jadi, lamaholot berarti gugusan pulau yang bersambung. Orang lamaholot berarti orang-orang yang tinggal di wilayah gugusan pulau yang bersambung. Bdk. Rofinus Nara Kean, dkk. Selayang Pandang Budaya Lamaholot (Larantuka: Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur, 2008), p. 1.
       [4]Terjemahan cerita ke dalam bahasa daerah ini dibuat oleh kelompok dan dibantu oleh Bapak Simon Langobelen yang berusaha memperbaiki kata maupun kalimat seturut bahasa daerah orang-orang Lamawara. Bahasa daerah tersebut ialah bahasa Lamaholot yang belum tentu sama dengan bahasa Lamaholot yang digunakan masyarakat di daratan Flores Timur, pulau Adonara, dan pulau Solor. Tentu saja, ada kata-kata yang sama dan ada juga yang berbeda, namun tetap merupakan satu rumpun bahasa yang khas, yaitu bahasa Lamaholot.
     [5]Kelompok memperoleh cerita rakyat ini dari Bapak Simon Langobelen, Tetua adat Suku Langobelen Klan Balanaen yang telah diketiknya dan dikirim ke Ledalero pada Rabu, 17 September 2014.  Naskah ketikan ini kemudian diketik ulang oleh kelompok untuk dijadikan bahan  seminar yang direncanakan kelompok.
      [6]Lamawara adalah sebuah desa di Kecamatan Ile Ape kabupaten Lembata. Desa ini terletak kira-kira 21 KM dari Kota Lewoleba, Ibukota Kabupaten Lembata. Desa ini juga berada di antara Desa Lewotolok dan Desa Mawa. Suku-suku yang tinggal di desa ini, yaitu suku Langobelen (sebagai Tuan Tanah), Bala wala, Lama bahir, Purek Lolon, Tobi Ona, ditambah beberapa suku pendatang seperti suku Amun Mama, dll.
       [7]Secara harafiah Lok niwang berarti buang jangkar, Nebong Tena berarti melabuhkan perahu, dan Lulun Laya berarti gulung layar. Artinya, Raja Siramuduk memutuskan untuk berlabuh di pantai  Lamawara dan menetap di desa itu.
       [8]Lewotolok adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Ile Ape,Kabupaten Lembata. Desa ini terletak kira-kira 19 KM dari Kota Lewoleba. Suku-suku yang mendiami desa itu adalah Lado Purab, Lama Taro, Sabaleku Langobelen. Desa ini tidak jauh dari Desa Lamawara di mana raja Siramuduk menetap  sebelum pindah ke Lamawara.
      [9]Koli Ketulisen dan Aran Belugahan merupakan alat  yang dimiliki Raja Siramuduk sebagai kekuatan untuk melindungi dirinya dari bahaya.
       [10]Frans Mido, Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya (Ende: Nusa Indah, 1994), p. 42.
       [11]Suwardi Endraswara, M. Hum., op. cit, p. 111.
       [12]B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1988), p. 71.
     [13]Pada bagian pertama cerita Raja Siramuduk dan Marga Langobelen terdapat kecenderungan yang mengarah kepada sebuah dongeng dan mitos. Selanjutnya pada bagian kedua, cerita tersebut tampak sebagai sebuah peristiwa yang diyakini benar-benar terjadi di masa lampau atau disebut sebagai legenda. Di sini, hal lain yang perlu dikritisi adalah sebagai berikut. Pertama, apabila sebuah analisis hanya berkutat soal struktur sebagaimana model mitos Levi-Strauss, maka ada bayak kemungkina bahwa cerita prosa rakyat seperti legenda dan dongeng dimasukkan juga sebagai mitos. Tentu saja, hal ini akan mempersulit setiap pemilik cerita dalam memahami cerita prosa rakyat. Kedua, kelompok melihat cerita Raja Siramuduk dan Marga Langobelen tersebut merupakan sebuah cerita rakyat yang selalu diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita tersebut membingkai adanya kecenderungan kepada mitos, legenda, maupun dongeng. Namun, hal yang perlu dipetik ialah bagaimana mendalamai struktur cerita dan menemukan makna untuk dijadikan pedoman hidup bagi pemilik cerita (orang-orang Lamawara) maupun orang-orang lain yang bukan menjadi pemilik cerita bersangkutan.
     [14]Teori ini dijelaskan oleh P. Djuan Orong dalam kuliah mimbar Seminar Sastra Lisan NTT di Ledalero, pada hari Kamis, 28 Agustus 2014.

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya....