Kisruh
masalah pasar di kota Lewoleba, Kabupaten Lembata belum menggapai solusi. Flores Pos (FP), Selasa 21 April 2015 menurunkan
tiga berita dari Lembata dengan judul masing-masing: Pedagang Duduki Rujab
Bupati Lembata, Pedagang Pada Tolak Surat Pernyataan, dan DPRD Desak Pemerintah
Tutup TPI.
Alkisah,
Polisi Pamong Praja menggusur tempat jualan para pedagang Pasar Pada di Taman
Kota. Hal ini dilakukan sebagai protes terhadap Bupati Yance Sunur yang
memperlakukan TPI sebagai pasar harian. Namun, hal yang sangat disayangkan
ialah aksi Polisi Pamong Praja (Pol PP) merugikan para pedagang. Lihat saja
ibu-ibu yang menangis dan mengeluh karena lapak-lapak dan barang-barang mereka dibongkar
oleh Pol PP. Tidak heran apabila para pedagang marah dan mengambil sikap
menduduki Rujab Bupati Lembata.
Oleh
karena kemarahan yang meledak-ledak, para pedagang menolak menandatangani surat
pernyataan yang hendak dibuat dan ditandatangani di hadapan bupati Yance Sunur.
Pilihan terakhir, para pedagang berdialog dengan DPRD Lembata.
Selanjutnya,
sikap yang diambil DPRD Lembata ialah mendesak pemerintah untuk menutup Pasar
TPI karena dalam Perda Nomor 12 tahun 2003 dinyatakan hanya ada dua pasar di
kota Lewoleba, yakni Pasar Pada dan Pasar Lamahora. Jelas, Pasar TPI tidak
seharusnya ada, tetapi apa alasan mendasar Pol PP menggusur Pasar Pada? Apakah
tindakan yang diambil benar-benar sebagai protes terhadap bupati Yance Sunur? Belum
tentu. Maka, mari kita lihat lebih jauh persoalan ini.
Dalam
ritus politik, ada banyak cara yang diambil oleh pemimpin untuk mencapai hasrat
yang dimimpikannya. Entah itu cara yang halal atau sebaliknya. Namun,
sebenarnya inti persoalan ini berkaitan dengan potret buram sosok pemimpin di
Lembata. Pemimpin yang dipilih rakyat dinilai aneh (FP 18/4). Oleh karena keanehan pemimpin, maka para pedagang sempat
melontarkan teriakan, hujatan, bahkan ada makian yang dialamatkan kepada bupati.
Menarik untuk dicermati di sini, di manakah posisi pemimpin?
Lari dari Tanggung Jawab
Sejauh
ini Lembata dihadapkan dengan situasi yang sangat sulit. Ini situasi krisis
kepemimpinan dan pemimpin yang sudah terjadi begitu lama. Situasi yang tampak
ialah bahwa pemimpin justru lari dari tanggung jawab. Tentu saja, ada fenomena
kegagalan pemimpin dan perihal memimpin yang berujung pada sikap masa bodoh dan
acuh tak acuh. Maka, kriteria pemimpin model ini tidak layak dipakai, bahkan dipertanyakan
oleh rakyat kecil.
Seorang
bupati misalnya, ia bertanggung jawab penuh untuk menentukan kebijakan publik
dan keputusan yang diambil bukan untuk menyengsarakan rakyat. Aksi Pol PP yang
diakui sebagai protes terhadap bupati tidak lain merupakan aksi dari seorang
atasan. Apakah itu berasal dari bupati? Belum tentu benar dan belum tentu salah.
Namun, defacto bupati sebagai
pemimpin yang dipilih rakyat sudah mempermainkan amanat rakyat yang diembankan
kepadanya. Bupati lari dari tanggung jawab dan tidak mau membangun dialog
(antidialog).
Di sisi
lain, seorang bupati misalnya, ia mesti menanggung suara rakyat serentak
menjawabi persoalan pelik yang sedang terjadi. Bupati bukan diam di dalam Rujab,
melainkan tampil di depan untuk membela hak rakyat. Dalam kenyataan tidak
terjadi demikian. Maka, tulisan ini hendak mengkaji sejauh mana potret pemimpin
yang dimimpikan rakyat Lembata saat ini.
Apakah untung atau rugi?
Realitas Untung dan Rugi
Apa akibat dari pemimpin yang tidak becus? Hemat saya,
ada dua dinamika kepemimpinan yang bisa dipetik bersama saat ini. Pertama, dalam ruang kepemimpinan
tertentu, prioritas pemimpin adalah menjaga kewibawaan dan harga dirinya. Cara
terbaik ialah lari dari tanggung jawab dan melindungi diri dengan menjaga
mentalitas kecut. Bahkan, persoalan publik dilihat tidak memberi efek
keuntungan bagi diri sendiri.
Kedua, serangan dari para pedagang dilihat sebagai perilaku
politik yang biasa-biasa saja. Jadi, untuk apa digubris, tidak ada keuntungan
yang diperoleh, apalagi rakyat tidak tahu berpolitik. Jika demikian, ini tidak
dibenarkan.
Sangat jelas terbaca kalau ada dinamika untung dan
rugi. Saat rakyat angkat bicara, pemimpin diam. Saat pemimpin bicara, rakyat
diam. Dalam kenyataan, pemimpin tidak bicara. Jelas, rakyat merasa dirugikan,
bahkan mungkin merasa sangat bersalah karena sudah memilih pemimpin dengan mentalitas
yang demikian. Pada tataran ini, potret pemimpin yang dimimpikan rakyat Lembata
tidak ada. Dengan kata lain, Lembata sedang mengalami ketiadaan pemimpin.
Lalu, rakyat Lembata memimpikan pemimpin seperti apa
pada saat ini. Pertama, pemimpin yang
buka mulut dan mau berdialog. Kisruh masalah pasar ini dapat diselesaikan kalau
pemimpin (baca: bupati) hadir dalam undangan rapat kerja dengan DPRD Lembata.
Rapat kerja bertujuan untuk membicarakan langkah-langkah perbaikan atau
pencarian solusi yang mengarah kepada kebaikan bersama. Apabila bupati selaku
atasan tidak mengambil bagian dalam rapat kerja, maka persoalan ini tidak akan
diselesaikan secara baik.
Kedua, pemimpin yang mewakili rakyat dan setia menemani
rakyat. Dalam hal ini, DPRD Lembata mesti berusaha keras untuk mendesak
pemerintah. Tujuannya ialah untuk menegakkan Perda Nomor 12 tahun 2003 mengenai
pasar Pada dan Pasar Lamahora. Konsekuensinya ialah bahwa Pasar TPI ditutup
karena tidak termasuk dalam Perda bersangkutan sehingga tidak ada alasan lagi
untuk memberlakukan Pasar TPI sebagai pasar harian.
Ketiga, pemimpin yang konsisten dengan kesepakatan bersama. Perda
Nomor 12 tahun 2013 bukan lahir dari keputusan personal seorang pemimpin. Perda
diputuskan oleh karena kebutuhan masyarakat. Hal yang tidak benar ialah apabila
keputusan itu berada di luar kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Para pedagang
misalnya, merasa untung dengan diberlakukan Pasar Pada dan Pasar Lamahora.
Tentu saja, usaha yang menciptakan masalah dan melampau kemampuan rakyat
bukanlah solusi terbaik. Maka, pemimpin dituntut lebih bijaksana lagi dalam
mengambil keputusan dan konsisten dengan kesepakatan yang sudah ada.
Ketiga hal ini menjadi kunci untuk mengatasi kisruh
masalah pasar saat ini. Jika ini dijalankan secara baik, maka pemimpin tidak
diledek oleh rakyatnya. Tidak ada umpatan, hujatan, teriakan, bahkan makian
yang keluar dari mulut rakyat yang ditujukan kepada pemimpin.
Walhasil, potret pemimpin Lembata saat ini masih tampak
samar-samar dan rakyat Lembata sedang menunggu jawab(an) dari pemimpin. Tujuannya
ialah untuk memulihkan situasi sulit (untung dan rugi) yang sedang terjadi saat
ini. Untuk itu, cara terbaik untuk menyelesaikan kisruh masalah pasar ialah
dengan membangun dialog. Dialog yang tertib dan dialog yang hidup dalam diri
pemimpin dan rakyatnya.*