Bedah dan Diskusi Puisi: Mendidik dari Nol
Oleh
Eto Kwuta
Mahasiswa STFK Ledalero. Tinggal di Nita Pleat
(Tulisan di bawah ini merupakan ketertarikan saya
mengomentari Bedah dan Diskusi Puisi Semester IIIE PBSI FKIP Uniflor serentak
mengapresiasi Harian Flores Pos)
Harian Flores Pos, Sabtu, 01 Februari 2014 menurunkan sebuah tulisan oleh
Y. Yerusman Tage, dkk. Mahasiswa Semester IIIC PBSI FKIP Uniflor. Judul tulisan
yang dimuat pada hlm 14, yaitu “Pulihkanlah Negeri Tercinta”. Setelah membaca
keseluruhan tulisan tersebut, saya berpikir kalau Yerusman, dkk. pantas
diacungkan jempol. Namun, hal yang penting ialah bahwa harian ini terus
mempublikasikan hal seputar sastra. Dan yang berbicara mengenai sastra (baca:
bedah dan diskusi puisi) adalah mahasiswa/i PBSI FKIP Uniflor. Sebelumnya, saya
terus mengikuti perkembangan Bedah dan Diskusi Puisi di harian ini. Untuk itu,
kali ini saya ingin mengomentari sedikit. Apa sebenarnya nilai pendidikan yang
didapat dari kegiatan semacam ini.
Menarik
sekali. Lembaga Pendidikan Uniflor sungguh-sungguh memperhatikan soal sastra. Hemat
saya, sangat mendidik. Sebagai seorang yang masih duduk di bangku kuliah, saya
merasa ada banyak hal yang diperoleh dari Bedah dan Diskusi Puisi. Penulis
ingin menyoroti beberapa dari banyak hal penting dari kegiatan tersebut.
Bedah
dan Diskusi
Kata “bedah” merupakan nomina atau kata benda yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong
(mengiris) bagian tubuh yg sakit. “Bedah” juga memberi arti operasi.
Selanjutnya dalam verba atau kata
kerja menjadi “mem-bedah”. Membedah berarti memotong (mengiris dsb) bagian
tubuh yg sakit; atau mengoperasi. Hal yang menarik dalam KBBI bahwa ditemukan
adanya “bedah buku”, suatu pembicaraan dan diskusi mengenai isi buku. Lebih
jauh, kalau dihubungkan dengan Bedah dan Diskusi Puisi, maka kegiatan
mahasiswa/i semester IIIE PBSI FKIP Uniflor sebetulnya memberi kesan
tersendiri.
Sebuah puisi karya John Dami Mukese
berjudul “Ratapan Semesta” dibedah serentak didiskusikan. Hemat saya, kegiatan
“membedah” berarti mengoperasi atau mengiris suatu hal menjadi semakin kecil
dan mudah dipahami. Seperti halnya puisi, ketika dibedah dan didiskusikan lebih
jauh, maka akan ditemukan makna atau arti terdalam dari setiap kata atau
kalimat yang ada di dalam puisi tersebut.
Tentang Bedah dan Diskusi Puisi ini,
sebetulnya memberi beberapa nilai positif bagi dunia pendidikan dalam hal
sastra. Saya lebih melihat kegiatan semacam ini sebagai sebuah revolusi sastra. Hal apa yang patut
dijadikan bukti adanya revolusi sastra?
Pertama,
Kolom Flores Pos sebagai sebuah koran kebanggaan NTT
setiap hari Selasa tampil dengan kolom imajinasinya yang menarik. Sebuah kolom
yang memuat puisi-puisi putra-putri NTT.
Kolom ini dilihat sepintas seperti tak bermakna karena memuat karya-karya orang
yang barangkali dilihat biasa saja, penuh idealisme dan terlihat merusak bahasa
Indonesia karena susunan kata-kata yang kadang sulit dimengerti. Sejauh ini, Flores Pos juga menyiapkan secara khusus
halaman untuk penuangan ide bagi mahasiswa/i Uniflor dan beberapa foto menarik
dari kegiatan yang diadakan. Sekecil apa pun kegiatan tertentu, tetapi kalau
itu berhubungan dengan pendidikan, maka kegiatan tersebut justru sangat
mendidik.
Kedua,
kegiatan Bedah dan Diskusi Puisi merupakan kegiatan langkah. Tidak semua orang
menggumuli sastra dan belum tentu semua universitas mewajibkan mahasiswa/i-nya
bergelut melakukan kegiatan serupa. Tentu menjadi hal yang terpuji dan patut
diapresiasi, kalau toh bedah dan diskusi puisi menjadi kegiatan rutin mahasiswa/i
PBSI FIKIP Uniflor, maka kita patut berterima kasih kepada harian Flores Pos yang menyediakan kolom
tersendiri mengenai sastra dan berita mengenai kegiatan sastra bagi mahasiswa/i
Uniflor. Penulis melihat, nilai yang dipetik dari “membedah dan mendiskusikan puisi”
adalah melatih kecerdasan mahasiswa/i untuk berpikir kritis. Sebagai agen masa
depan Gereja dan Negara, mahasiswa/i dilatih untuk mengemukakan ide-ide dan
rasa ingin tahu. Mengutip Daniel O. Suek, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang
mengatakan bahwa kegiatan Bedah dan Diskusi Puisi justru mendidik generasi
penerus agar kemampuan, kecerdasan, emosi, relasi, kematangan, dan kedewasaan
bisa berjalan seimbang (FP, 01/02/14).
Ketiga,
pemilihan puisi berjudul “Ratapan Semesta” karya John Dami Mukese (Sastrawan NTT) menjadi sangat cocok didiskusikan. Kebetulan
sekali penulis pernah membaca puisi ini sebelumnya. Kalau mau dibilang, puisi
ini memiliki daya pukau luar biasa. Puisi yang sebetulnya “menguak” tanya
sekaligus “membongkar”. Seperti beberapa larik-larinya berbunyi demikian; // Dari padang-padang tandus / kami mengaduh / Dari bukit-bukit gundul / kami
mengeluh / Dari lembah-lembah gersang
/ kami mengerang / Dari sungai-sungai kering / kami menjerit //. Terdapat asonansi atau perulangan bunyi vokal
dalam deretan kata yang justru mengelitik dan memengaruhi rasa ingin tahu.
Keingin-tahuan ini biasanya diangkat oleh siapa saja yang kurang memahami isi
puisi. Misalnya, para siswa SMP
sebagai peserta yang hadir dan mengajukan pertanyaan dalam kegiatan ini.
Bermula dari rasa ingin tahu, maka mereka kemudian tahu dan akhirnya memahami
dengan baik. Bisa menjadi mungkin, peserta yang belum memahami maksud terdalam
sebuah puisi berani bertanya, mengapa perlu mengaduh, mengeluh, mengerang, dan
menjerit?
Jawaban atas pertanyaan ini bervariasi.
Barangkali kita perlu mengaduh karena bencana yang sedang melanda, seperti
kekeringan, kelaparan, letusan gunung berapi dan lainnya. Bencana alam justru
memancing banyak keluhan. Maka, manusia mengeluh dan mengerang kesakitan. Jalan
terakhir yang dipilih, yaitu menjerit. Apakah itu karena sakit yang diderita?
Manusia justru banyak kali mengaduh kepada Tuhan. Seperti Cahiril mengaduh
dalam sepenggal puisinya berjudul “Di Mesjid”, / Kuseru saja Dia / Sehingga datang juga / Kamipun bermuka-muka. / Seterusnya
ia bernyala-nyala dalam dada //. Seruan yang menjadi doa. Sebuah pergumulan
manusia biasa, selayaknya Cahiril; mengaduh, mengeluh, mengerang dan menjerit
adalah manusiawi. Mungkin ini jawaban salah satu dari sekian banyak jawaban
bagi mereka yang belum memahami maksud dari sebuah puisi.
Dengan begitu, bedah dan diskusi sastra
sungguh menjawabi keingintahuan peserta, terutama siswa/i SMP atau SD. Artinya, kegiatan ini menjawabi angka
0 (nol), atau kekosongan, atau dari tidak tahu sama sekali menjadi tahu. Oh,
ternyata begini maksudnya.
Keempat,
Bedah dan Diskusi Puisi menjadi sebuah ruang ekspresi intelejensi. Ruang untuk
menggali apa yang belum diketahui bersama. Adanya interaksi, saling belajar dan
berbagi. Sekali lagi, membedah dan mendiskusikan puisi sama dengan solusi untuk
memecahkan pemahaman yang sempit mengenai sastra, khusunya puisi. Ketika sebuah
diskusi diadakan, sebetulnya sangat membantu ketimbang belajar sendiri.
Mahasiswa/i di mana pun mereka berada, selalu ada “tukar-tangkap”, atau
kegiatan seperti diskusi ilmiah merupakan usaha mendidik dari nol.
Kalau
diingat-ingat, ketika masih duduk di bangku SD, guru Bahasa Indonesia hanya
mengajukkan pertanyaan, siapa pencipta lagu Indonesia Raya, atau pertanyaan
lain, siapa pengarang buku “Habis Gelap,
Terbitlah Terang”; atau pun siapa yang menghasilkan puisi berjudul “Kepada peminta-minta”. Tentu banyak yang
angkat tangan dan menjawab secara mudah dan tepat. Hemat saya, itu sudah
mendidik, tetapi belum sepenuhnya membentuk daya kritis siswa maupun siswi.
Dengan demikian, apa yang sudah ada (baca: bedah dan diskusi puisi), harus
tetap ada. Bukan hanya itu, pembacaan puisi, lomba menulis puisi atau pun
cerpen, dan lain hal yang berhubungan dengan sastra perlu dihidupi. Dari mana
harus memulainya? Tentu, kita mulai dari SD, SMP,
SMA, dan selanjutnya Perguruan Tinggi, atau selama hayat masih dikandung badan.
Profisiat untuk Yerusman Tage, dkk. Viva
Flores Pos!*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar