Selasa, 06 September 2022

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya. Siang memang panas, malam kita memeluk dingin sambil menunggu jam makan, lalu tidur pulas menuju pagi. 

Sekarang, tanggal 7 September 2018. Besok, tanggal 8. Betapa tidak terasa cepatnya, tapi terasa letihnya bekerja sambil berdoa. Siang ini, pulang dalam keadaan lapar, tapi lapar yang normal. Tidak lapar sekali, karena September punya cerita berbeda. Ada September dan Kitab Suci yang selalu memuntahkan sabda-sabda cinta dan kasih sayang. Benarlah, ini bulan yang membawa kekenyangan rohani paling alami. 

September ini adalah seperti waktu wisata rohani yang paling murni. Saya pun mengingat kembali meditasi, kontemplasi, baca Kitab Suci, menulis renungan mini, dan masih banyak lagi. Ini dulu sekali. Sekarang, saya merindukan ini seperti rusa mendambakan air segar di bibir sungai Mahakam.

Betapa kerinduan ini seperti sebuah sakramen yang akan menjadi kekal di mata Tuhan. Barangkali, saat Kitab Suci dibuka, saya hanyalah orang gila yang merasa akrab kembali lagi dengan Tuhan. Setelah sekian lama terusir dan mengalir jauh ke ruang-ruang hatimu, aku bukanlah apa-apa dalam sabda-sabda yang tertulis di Kitab tua yang selalu menemani sakit dan penyakitku.

Ingat juga bahwa ada juga sakit dan penyakitmu yang selalu membuatmu haus akan Tuhan. Maka, janganlah jauh! Karena September adalah rumah untuk membaca Tuhan dalam hatimu. September adalah gulungan-gulungan kata dan doa yang bergerak ke mana air mengalir dan angin pergi maupun pulang dalam desahan yang imut di telingamu.

Telinga September

Oh ya, telinga ini adalah telinga September. Telinga yang mau supaya kita mendengar dengan penuh cinta dan membaca terus puisi-puisi di dalam kitab tua ini. Jika membaca bagimu adalah kerja, maka bekerjalah sambil membaca. Jika membaca bagimu adalah doa, maka membacakan sambil berdoa. Semua ini akan indah pada waktunya.

Pengkhotbah ulung yang lahir di zaman sebelum Yesus, telah mengajarkan betapa waktu adalah berharga dalam Tuhan. Untuk segala sesuatu ada masanya. Maka, September adalah masa yang indah untuk berkunjung kepada makam-makam kita yang kering dan mati oleh karena sabda masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Selamat membaca Kitab Suci.

#rumahremahkata-kata

#AdaDalamKata

Jumat, 26 Agustus 2022

Nubuat dan Berbuat

Yeheskiel, si pelihat itu membuka mulut dan mulai bicara. Caranya bicara itu seperti hujan kemarin ketika perjalanan panjang ke Bajawa dihiasi basah sepanjang jalan. Yeheskiel, hari ini membuka cerita tentang sakit dan penyakit yang melanda rumah hati kita. 


Dan, saya tertahan oleh dingin yang membeku. Hati saya diremas mendung di hari ini, sedang Tuhan lewat pakai sendal jepit, dan gerimis mulai tiba. Yeheskiel meminta Tuhan menulis hujan, biar hati semua orang mencair.


Tiba-tiba, pemazmur menyanyi di atas puncak Ebulobo: "Tuhanlah gembalaku, tak akan kekurangan aku!" 


Angin pun membawa nada-nada ke Wolowio, lalu lonceng menyambut gema suara pemazmur. Sampai akhir ziarah, Ekaristi masih subur di depan altar, lalu dilarikan oleh telinga-telinga kepada semua yang ada.


Kemudian, Matius menggoda kita supaya masuk ke dalam luka-luka ziarah hidup ini, biar kita membalut berkat untuk berbuat seperti yang disabdakan oleh Yesus. 


Yesus masuk ke dalam hati kita, lalu mahkotanya ditahktakan ke dalam hati kita. Ia membuka pakaian-Nya, lalu menjadi hamba. Lebih dari itu, ia merajai hati kita sampai mati.


#rumahremah kata-kata.

#wolowio, Bajawa

#AdaDalamKata


26 November 2017

Adven di Dapur Maria

"Sayang, kutunggu masakanmu. Masak daun pepaya tambah garam segengam, ya?" pintaku padanya.

"Ya. Boleh. Mau saya tambahkan masako?"

"Ah, jangan. Biar garam saja, ya!" kataku lagi.


Aku duduk di bilik dapur. Di depannya, sebuah meja dengan kain ungu. Di tengah ada empat buah lilin. Satu buah lilin sudah dinyalakan sejak minggu kemarin.


Sambil melinting tembakau sek, kubiarkan aroma dapur Maria menggoda hatiku. Kubiarkan lagi asap menggauli tubuhku. Kubiarkan lagi bunyi air mendidih semakin risih. Lalu, semuanya kubiarkan supaya menjadi. Semua menjadi masak di dapur.


"Pietro, bukakan saya sebuah lagu!" pintanya.

"Mau lagu apa, sayang?" 

"Nah, lagu tentang nama saya," katanya.


Saat itu, semuanya semakin masak. Dan, kuputar lagu "Ema Maria". Di dapur, api di tungku menari, air mendidih sambil bersiul, kayu menabuhkan kruk-krak yang gertak, piring dan senduk menunggu masakan daun pepaya tambah garam sambil mencumbu secara diam-diam. Semua, semua yang di dapur ikut membaur dalam melodi yang sama. 


Kemudian, Maria menoleh sambil senyum. Ia main mata dan meminta saya duduk di dekat tungku. Ya, kuikut apa yang ia mau.


Sambil bercerita, kami menunggu dengan harapan yang selalu jatuh cinta pada kesuksesan. Sementara sibuk memasak dan menuai cerita, tiba-tiba lampu PLN padam. 


Semua gelap. Semua mati. Dan, di meja yang menunggu rasa pahit dan garam yang ampuh, lilin menebarkan pesona cahaya yang misterius. Di dapur, api tungku pun menggempur gelap.


Aku dan Maria dihiasi warna kuning kemerah-merahan juga rasa panas dari api yang menyala. 


Tiba-tiba, ia mengecup bibirku. Lampu PLN menyala saat itu. Dan, ayam berkokok tiga kali, memberi tanda bahwa di dapur, dari dapur, dan keluar dari dapur di luar dapur, ada yang terus memberi arti dan juga menyembunyikan perasaannya sendiri. 


Aku merenung. Sendirian. Dan, Maria hanya tersenyum di kepala saya, sambil mengatakan: "Kamulah cinta saya sampai mati."


#shortstory

#Rumahremah kata

#DapurMaria

Facebook, 6 Desember 2017

Teater Evergrande Syuradikara



Tahun 2017, 10 November telah dipentaskan Tungku Haram karya seniman revolusioner Zarathustra. Beliau adalah seorang pastor dalam Serikat Sabda Allah atau SVD yang aktif menelurkan judul-judul teater yang bernas. 


Dalam tahun-tahun kemarin, juga sudah mendahului Tungku Haram, semisal Separuh Nafas, Kursi Retak, dan lainnya merupakan judul-judul yang saling sambung-menyambung. Judul yang satu berkaitan dengan judul kedua, ketiga, dan seterusnya.


Implikasi praktis dari semua itu tampak dalam 'dapur' Evergrande Syuradikara. Di dalamnya, lahir metamorfosis seni yang memiliki kahrakter edukasi.


Berbicara soal edukasi atau pendidikan yang berkahrakter, saya tidak meragukan Syuradikara sebagai lembaga pendidikan yang kreatif-inovatif. Maka, jika tahun kemarin dalam 'Tungku Haram' itu, belum memberikan tingkat kepuasan publik karena sound system yang kacau, maka pada Maret yang akan datang, Evergrande Syuradikara akan kembali.


Artinya, panggung adalah sebuah publikasi riil yang sebaiknya memberi dampak. Publikasi riil di sini bukan soal dokumentasi fotografi dan videografi saja, tapi soal keseluruhan seni yang ditampilkan di atas panggung.


Saya berasumsi bahwa 'Tungku Haram' adalah satu dari sekian banyak judul teater yang berevolusi oleh karena Sutradaranya. Saya melihat bahwa revolusi sosial-politis dalam seni sungguh-sungguh lahir di dalam Evergrande Syuradikara. Dinamikanya ada dan sangat revolusioner.


Yang revolusioner itu ada dalam diri Zarathustra sebagai sutradara dan tidak terlepas dari semua crew yang terlibat di dalamnya. Ada semacam spiritualisme kritis ala Ayu Utami, tapi ia menyikapi secara kritis soal Human Trafficikng. 


Kalau dalam Bilangan Fu, Ayu Utami menobatkan Spiritualisme Kritis bagi para pemeluk agama, maka dalam 'Tungku Haram' saya berani mengatakan bahwa telah lahir Spiritualisme yang Revolusioner. Dalam arti, seni dihadapkan bukan terpaku dalam satu titik seni, melainkan banyak. (Going on).

Rabu, 24 Agustus 2022

Kota dan Tata Kota

Maumere adalah ibu kota Kabupaten Sikka. Kota yang manis, bila kita mendengar lagunya. Kala kita jauh di mana saja, jika lagu Maumere Manis didengar, maka kita dihantam rindu untuk pulang ke pangkuan mama.

Pagi ini saya putar-putar di kota. Ada banyak yang berubah. Tata kota yang mulai menghiasi mata-mata yang memandang, pandangan yang lain, dan semua ini menarik kita untuk melihat siapa dan apa yang ada di balik keindahan itu.

Kamu pasti ingat kota Maumere. Kota yang sedang disulap menjadi metro dan polis. Plato akan bangga jika ia melihat dan mengalami Maumere. Kalau dahulu Yunani itu kuno, maka sekarang Maumere itu modern. Kita bakal memetik ide-ide filsafat kontemporer dan belajar mengubah yang lama jadi baru. 

Yang lama perlu diubah biar yang baru dicerna secara positif. Maka, Maumere dan tata kotanya adalah sebuah 'revolusi' yang positif-agresif. Tingkatan agresivitasnya mengacu pada kata 'tata', karena penataannya akan memberi kesan tunggal, yakni 'keindahan'.

Kalau yang indah itu selalu memberi, maka Maumere itu lupa menerima. Nanti, jika kota dan tata kotanya menjadi terpusat. Ada sentralisasi yang tidak boleh mengikuti Jakarta yang 'mengkotak-kotak-kan'. Paling kurang, Maumere perlu melihat dan memberi lebih banyak, supaya orang-orangnya bisa melihat ada "kualitas yang menjadi". Misalnya, keadilan menjadikan kota milik kita.

Tentu saja, saya yakin dan percaya bahwa keindahan itu tampak satu; mengikat yang banyak dalam satu. Satu untuk membangun Maumere jadi lebih potensial. 

Oleh karena itu, kota dan tata kotanya harus memproyeksikan sedikit nuansa " Bajawa". Biar dinginnya terasa dan sejuk menjadi milik bersama. Jadi, kita perlu belajar banyak dari 'yang lain".

#remah-rumah kata-kata. Ada dalam kata.

24 Agustus 2017

Sabtu, 13 Agustus 2022

Ke Rumah Sakit Minggu

Ada bulan, bintang, dan rindu yang melintang ke arah kamu. Pet duduk di bawahnya dengan rindu tanpa nama, tiada bentuk, tiada batas. Pet memandang ke atas dan melihat betapa langit jauh tiada batas dan rindu semakin mengeras dan mengalif deras.

Di lapangan, pinggir kampung, Pet duduk memandang bulan. Bulan separuh dan dia juga melihat ada rindu yang separuh. Rindu pada mantan. Mantan atau lebih tepatnya mutan yang lahir 2000-an tahun lalu, masih ada dan mondar-mandir di malam minggu. Mantan yang berkelas dan Pet membayangkan kalau kelasnya mantan sudah pasti berkelas. Jika dilihat dari rupanya, mantan itu mutan yang sedang sakit, tapi membuat seolah tidak sakit. 

Hati sakit dan sakit-sakitan para mantan adalah bukan sakit musiman, melainkan sakit mainan yang dimainkan dengan cara bermain tali. Pet masih duduk. Dia melihat mantannya mengambil tali bendera dan juga bendera. Ia menonton sebuah teka-teki yang dimainkan oleh perempuan yang bernama "Mabeta".

Mabeta mengikat tali pada tulang keringnya dan menempelkan merah-putih pada pipinya. Ia merasa bangga dengan senyum yang ranum di wajahnya. Dan, Pet turut merasa bangga dengan Mabeta. Tiba-tiba, Mabeta mengajak. 

"Pet, Mari bermain tali!" teriaknya dari jauh. Lalu, Pet mendengar desahan-desahan Mabeta yang nakal di sana-sini. Mabeta telah menyiapkan tiang bendera untuk menggantung hatinya.

"Lebih baik saya menggantung hati saya, daripada saya menggantungmu di perjalanan ke rumah sakit Minggu," kata Mabeta.

Pet kaget. Ia bangun dan berjalan terus ke rumah sakit. Di sana, dia melihat bahwa bukan hati Mabeta yang mengantung di sudut sunyi, tapi hatinya sendiri. Dia berlutut dan tekuk di bawah kaki-Nya. 

"Minggu lalu aku di Kupang dan lupa pulang ke sarang. Sekarang aku pulang dan melihat bahwa aku digantung seperti bendera. Hatiku adalah bendera. Merah-putihnya adalah satu perjuangan. Maka, kibarkanlah hatiku kepada hati siapa saja, yang mampu mencintaiku seperti cinta-Mu padaku. Cinta tanpa tali.  Cinta tanpa ada kata 'pemali'. Karena merdeka tidak mengenal haram, tapi merdeka itu mengenal siapa yang jujur dengan dirinya sendiri dan lebih tingginya, jujur dengan yang sedang digantung di atas itu," kata Pet sambil memakukan seluruh dirinya di sebuah perjalanan. Perjalanan ke Rumah Sakit Minggu.


#Remah-remah kata

Kamis, 11 Agustus 2022

Gonsalu Cup dan Arus Gonsalu

Wajah Oriel Laru (28) tidak pucat. Saya kaget kala perjumpaan kami ini menumbuhkan aura kehidupan yang tak akan padam. 

Kawan lama yang merangkap captain kesebelasan Kanada, merasa terhormat di laga perdana Gonsalu Cup, team-nya berhadapan dengan juara bertahan musim kemarin, anak-anak Boru, Kampung Baru, Wulanggitang, Jumat (11/8) sore.

Oriel adalah kawan lama yang suka bola, cinta bola, tidak buta bola, dan ingin mati bersama bola.

Ia bersama kesebelasannya baru pertama kali ikut ajang bergengsi Gonsalu Cup. Ya, kalau ukuran di wilayah Kecamatan Wulanggitang, maka Gonsalu Cup justru hadir ketiga kalinya dan mereka pertama kali dalam sejarah di ajang ini.

"Saya suka sejarah baru dimulai. Karena kami bukan Kanada yang menyontek nama negara ini, tapi kami adalah Kanada yang memahami sejarah," ujar Oriel saat kami berpapasan muka dengan muka, sambil saya melihat kalau di wajahnya ia menyembunyikan kecemasan. 

Dan, kala pertandingan berlangsung sengit, Oriel justru menjadi bintang di laga perdana. Ia menyumbang 2 gol di laga perdana. Tendangan di luar garis enam belas, dua kali tak meleset. Hingga, laga berakhir dengan score 3:2. Ya, Oriel menjadi bintang yang hidup pada sore kemarin.

"Saya bangga karena kami datang, kami melihat, kami menang," ujarnya sambil tersenyum bahagia.

Saat saya mendengar pernyataan ini, saya mengingat bagaimana kemenangan itu menunggu dipetik, tapi menggapainya diperlukan kerja cerdas. 

Oriel sudah membuka puasa kegagalan dengan segelas keringat kemenangan di awal ajang bergengsi Gonsalu Cup. Hal yang menarik ialah bagaimana dan siapa sosok atau tokoh di balik Gonsalu Cup dan apa yang dimuntahkan dalam ajang ini?

Pertama, Gonsalu punya tokoh dan sebagai nama dari toko. Maka, Om Frengky de Class bukanlah pahlawan yang melawan egonya sendiri, tapi melawan kebodohan masyarakat Wulanggitang dan sekitarnya. Ia punya toko yang ramai dikunjungi pembeli serentak ia menarik semua yang jauh jadi dekat, yang dekat tetap di tempat, dalam satu arus gonsalu, kita diantar kepada sejarah.

Sejarah itu kemenangan yang ada di depan mata. Sejarah itu arus balik dan mudik, biar ada perjumpaan yang sarat dengan cinta, kasih, dan sayang. Maka, kita harus melihat ETMC kemarin dan belajar bagaimana cara terbaik menendang bola dengan kaki, bukan dengan darah dan air mata.

Tentu saja, cinta itu luka, kita ini buta, mencintai itu bukan sebatas kata-kata dan tanpa cerita tapi kita dibatasi untuk merebut kata 'menang' jadi sejarah.

Kedua, arus Gonsalu bukan arus mainan. Tekanan dahsyat, ribut, gelombang ganas, memecah belah dan bahkan bisa membunuhmu saat ini juga. Namun, ada sesuatu yang bergerak dengan cepat dan itu adalah cara kita melihat bola dan bola melihat kita.

Maka, kita perlu mengingat bahwa laga kedua hari ini sebaiknya dipahami sebagai laga perdana. Karena kedua, ketiga, dst selalu dimulai dari pertama. Dalam arti, kita menjadi seperti Oriel yang memahami ajang ini secara positif. Kita datang, kita melihat, kita menang. Cukup pahami adagium ini, maka piala dan arus kata-kata, tindakan, sikap, dan semuanya menjadi cerita yang tidak pernah mati di tengah lapangan hijau.

#Maridukungkami. :-)

Minggu, 07 Agustus 2022

Menanak Usia

 


Tahun yang lepas hingga tulang-belulang lemas

Hari yang sedih pun habis dalam cemas

Ketika rasa sakit terobati oleh senyum waras:

"Aku masih menanak, Nak!"


Nasi di tungku sudah masak

Bersama senyum ranum melawan rasa sesak

Cinta tumbuh dalam kata yang berkembang biak:

"Usiaku hari ini adalah menu terbaik buatmu anak-anak!"


(Sebagai anak, aku merenung. Diam. Lalu, berdoa) 


Dari jauh sejauh dekat menjadi hangat dalam ujud

Kusebut nama Mama sedalam laut memeluk

Sunyi yang tak habis mencuri berkas rahasia sujud

Doa menari ke atas langit yang sedang mabuk. 


"Mama, menanak usiamu adalah masakan paling bergizi".


Sampai hari ini, mungkin banyak yang tak tahu

Masakan terlezat setiap tahun

Adalah menyaksikan cucu-cucu anggun

Sambil makan pun merayakan hidup yang tambun.


"Selamat Ulang Tahun, Mama!"


Maumere, Senin 8 Agustus 2022

Selasa, 02 Agustus 2022

Mogok Massal, Pariwisata Labuan Bajo Mati

Jalanan kota di Labuan Bajo pada Senin (18/7/2022) tampak padat. Kendaraan roda dua dan empat tak begitu banyak yang bergerak. Hanya ada barisan manusia.

Mereka adalah para pelaku pariwisata dan masyarakat yang merasa peduli hingga turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi.

Fitri W. Rodja, praktisi pariwisata yang terlibat langsung mengatakan, para pendemo sudah bergerak dari BTNK menuju Kantor Bupatai Manggarai Barat.

“Massa sudah bergerak dari BTNK, karena saat kami di sana, kepala BTNK-nya kabur. Beberapa pendemo masuk untuk menemui beliau, tetapi dia menghilang,” kata Fitri.

Fitri bilang, oleh karena kepala BTNK suka membuat MoU tanpa ada sosialisasi atau persetujuan, maka barisan mereka terus bergerak.

“Dengan kekuatan yang ada, semua yang hadir, juga masyarakat, kita menolak,” katanya.

Tidak berhenti di situ. Sebagaimana dilansir Antara pada Jumat (29/7/2022), barisan warga Labuan Bajo melakukan protes atas kenaikan tarif masuk ke Pulau Komodo, Pulau Padar, dan wilayah perairan lain dalam wilayah Taman Nasional Komodo Labuan Bajo tersebut.

Dengan suara keras, mereka membangun pekikan keluh kesah di depan Hotel Loccal Collection Labuan Bajo yang menjadi tempat pertemuan konferensi pers peluncuran aplikasi INISA.

Diketahui, INISA adalah aplikasi untuk sistem reservasi ke lokasi yang telah dimaksud tersebut.

Tampaklah, warga tersebut merupakan gabungan dari beberapa organisasi pelaku pariwisata di Labuan Bajo.

“Mereka melakukan protes sejak pukul 09.00 Wita. Mereka pun melakukan aksi menahan mobil yang dikendarai oleh Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi,” kata Etho, praktisi wisata yang lain saat dihubungi Ekora NTT, Selasa (2/8/2022).

Berdasarkan informasi, Etho bilang, hari itu, warga menuntut adanya pernyataan dari Bupati Manggarai Barat terkait kenaikan tiket yang akan berlaku tanggal 1 Agustus 2022 sebesar Rp3,75 juta.

Selain itu, ia menambahkan, warga berjuang keras untuk mendesak Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur Zeth Sony Libing yang ada di dalam hotel untuk memberikan pernyataan.

Hentikan Aktivitas Wisata

Asosiasi Pelaku Wisata dan Individu Pelaku Wisata Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT menyatukan persepsi dalam MoU untuk menghentikan aktivitas pariwisata seiring dengan rencana kenaikan tiket masuk Pulau Komodo mencapai Rp3,7 juta per orang pada 1 Agustus 2022.

"Kami bersepakat untuk menghentikan semua jenis pelayanan jasa pariwisata di Kepulauan Taman Nasional dan di seluruh destinasi wisata di Manggarai Barat mulai 1-31 Agustus 2022," kata Koordinator Pelaku Wisata dan Individu Pelaku Wisata Kabupaten Manggarai Barat Rafael Taher pada Sabtu (30/7/2022).

Ia mengatakan, aksi tersebut sebagai bentuk protes penolakan pelaku pariwisata di Manggarai Barat.

Rafael mewakili seluruh pelaku wisata di Manggarai Barat menilai, kehadiran PT. Flobamor Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik pemerintah NTT sangat memonopoli sektor pariwisata di Manggarai Barat.

“Hal ini menyebabkan kemiskinan bagi seluruh pelaku pariwisata serta masyarakat di Labuan Bajo, Manggarai Barat,” ungkapnya dilansir Antara, Sabtu (30/7/2022).

Karena itu, ia menegaskan, komitmen bersama menghentikan semua aktivitas pelayanan jasa pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat itu tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Terima Konsekuensi

Lewat MoU tersebut, Rafael bilang, para pelaku wisata akan menerima konsekuensinya.

“Jika ada yang melanggar MoU tersebut, para pelaku wisata itu seperti pemilik kapal wisata, pemilik penyedia jasa transportasi darat, pemilik restoran, pemilik hotel, fotografer, guide, pelaku usaha kuliner,” katanya.

Lebih tegas lagi, adapun sanksi lain adalah jika ada yang melanggar MoU itu maka, pelaku wisata itu harus bersedia untuk dibakar bentuk fasilitasnya.

Terkait wisatawan yang sudah memesan tiket pesawat atau hotel di Labuan Bajo, kata Rafael, pihaknya tidak akan melarang.

"Kita tidak larang wisatawan datang. Tetapi mohon maaf jika sudah tiba di Labuan Bajo, tidak ada travel yang akan jemput," tambahnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sony Zeth Libing menegaskan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur tetap memberlakukan tiket masuk ke Pulau Komodo dan Padar sebesar Rp3,75 juta sekalipun ada pihak yang menolak dengan tarif baru yang mulai diberlakukan pada 1 Agustus 2022.

"Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sangat menghargai aspirasi masyarakat yang menolak terhadap kenaikan tiket masuk sebesar Rp3,75 juta ke Pulau Komodo dan Pulau Padar. Semua aspirasi itu kami kaji namun tentu pemberlakuan tarif baru masuk ke Komodo tetap dilakukan pada 1 Agustus karena sudah melalui kajian yang matang," ungkap Kadis Sony.

Sony menambahkan, pihaknya juga membuat antisipasi lebih awal sebelum terjadi persolan lebih luas yang terjadi pada habitat Komodo dan ekosistemnya.

Aksi Mogok

Massa dalam jumlah banyak, dari banyak latar belakang profesi memulai aksi mogok dengan gerakan bakti sosial membersihkan sampah di Labuan Bajo, Senin (1/8/2022).

Terlihat dalam video yang beredar di WhatsApp, sekelompok massa membawa karung, plastik, dan juga beberapa pamflet dengan tulisan.

“Laskodat Sampah Masyarakat,” bunyi tulisan itu kala dipegang oleh seorang lelaki berkaca mata yang tergabung dalam gerakan membersihkan sampah itu.

Video lainnya menunjukkan gabungan keamanan dari polisi dengan kendaraan roda empat dibarengi bunyi sirene polisi melewati jalan di dalam kota Labuan Bajo.

“Dari Polda, hoe senjata lengkap, luar biasa, luar biasa,” kata perekam video tersebut diikuti gerutu beberapa teman di sampingnya.

Kala siang hari, tiba-tiba seisi kota Labuan Bajo terlihat mencekam lantaran polisi diduga melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap para pelaku wisata yang melakukan bakti sosial dan berorasi sebagai satu rangkain upaya mogok untuk menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di TN Komodo.

Dilansir Floresa.co, Senin (1/8), beberapa aktivis sudah diamankan di Polres Mabar, sementara beberapa lainnya terluka setelah dipukul oleh aparat.

Aparat keamanan, baik polisi, Brimob maupun tentara memang terlihat memenuhi kota Labuan Bajo menyusul penetapan status siaga satu di wilayah itu.

Mereka terlihat siaga di depan hotel-hotel, fasilitas publik seperti bandara dan pelabuhan, serta ada yang patroli keliling kota.

Suasana kota memang tidak ramai seperti biasanya. Bandara sepi dan pelabuhan tidak beroperasi. Wisatawan yang sudah tiba di Bandara Komodo Labuan Bajo terpaksa dijemput dengan angkutan umum yang dikendarai polisi.

Opyn, seorang anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Manggarai Barat mengatakan, mereka menggelar bakti sosial memungut sampah mulai dari KSPN Puncak Waringin, Waterfront, sampai di jalan depan Bandara Komodo, sambil berorasi.

“Selama aksi digelar, kami dikawal oleh aparat polisi dan Brimob dari Polda NTT serta polisi pamong praja setempat,” katanya.

Suasana memanas ketika mereka tiba di jalan raya depan Bandara Komodo, di mana, ia bilang, aparat melakukan pengawalan lengkap bersenjata laras panjang.

Ophyn menceritakan, aparat menghentikan orator dan melepaskan tembakan peringatan dan saat bersamaan mengejar pun menangkap sejumlah pegiat pariwisata.

“Aneh rasanya. Kami dikawal dengan senjata laras panjang. Padahal kami melakukan aksi pungut sampah dengan orasi. Di depan jalan, depan Bandara, aparat melepaskan tembakan lalu mengejar dan menangkap teman-teman kami. Teman-teman kami ditendang, dicekik, dipukul, sampai berdarah,” tutur Opyn.

Di antara pegiat pariwisata yang ditangkap, dua di antaranya, Rafael Todowela dan Aloys Suhartim Karya selaku orator selama aksi damai tersebut.

Menolak Komersialisasi

Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema menolak praktik komersialisasi secara brutal di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Menurutnya, pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.

“Pada prinsipnya saya menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Namun, mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal?” tanya Anggota Komisi IV DPR RI yang kerap disapa Ansy Lema di Jakarta, Sabtu (16/7/2022).

Ansi mengatakan dengan keras, bahwa itu adalah kritiknya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia.

Ansy bilang, hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) adalah merekomendasikan pembatasan.

Tetapi, lanjut Ansi, mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan izin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.

"Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri," gugatnya.

Ansy menerangkan, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.

Ansi Lema mengemukakan bahwa terdapat dua kejanggalan yang sedang terjadi dalam kasus tersebut.

Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo.

“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan PT. Flobamor,” ungkapnya.

Menurutnya, tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Komodo dan Padar?

“Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” tegas Ansy.

Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif.

Ia bilang, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata.

“Di mana letak keadilan sosialnya? Seharusnya uang konservasi diambil pemerintah dari perusahaan yang melakukan perusakan alam, seperti perusahaan sawit, perusahaan batubara, korporasi tambang, dan sebagainya. Tarik pajak lebih banyak dari mereka dan kemudian disubsidi silang untuk biaya konservasi, bukan dari masyarakat Indonesia yang mau berwisata,” pungkas politisi PDI Perjuangan ini.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Sebastian Salang, menilai kebijakan kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar Rp3,75 juta per orang telah mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, pelaku wisata, pelaku bisnis, dan perasaan masyarakat setempat.

Menurut Salang, pelaku pariwisata di Labuan Bajo melakukan mogok total terkait pelayanan bagi wisatawan dan sebagai bentuk penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.

“Hal itu merupakan tamparan keras bagi wajah pemerintah pusat dan daerah khususnya provinsi yang melahirkan kebijakan,” katanya kepada Ekora NTT, Selasa (2/8/2022).

Salang berujar, penolakan dan perlawanan besar-besaran tersebut adalah gambaran bahwa kebijakan tersebut cacat proses dan gagal mendeteksi aspirasi dan kepentingan serta harapan masyarakat.

“Potret kebijakan yang dipaksakan, top down, sempit demi angan-angan keuntungan besar yang ditempuh melalui jalan pintas,” tandasnya.

Ia menilai, penolakan dan perlawanan massa juga merupakan fakta kebijakan yang telah gagal dan kehilangan legitimasinya.

“Kebijakan yang baik pasti direspons, diterima dan dijalankan oleh semua stakeholder dan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan yang buruk dan dipaksakan pasti ditolak bahkan dilawan. Itulah yang terjadi di Labuan Bajo. Pemerintah harus menyadari itu,” tegas politisi asal Manggarai itu.

Faktanya saat ini, lanjut dia, kebijakan kenaikan tarif ini telah menimbulkan efek sangat buruk bagi pelayanan pariwisata. Banyak wisatawan menunda dan membatalkan perjalanannya ke Labuan Bajo.

Selain itu, image terhadap daerah wisata premium jadi rusak dan buruk. Bukan mustahil dampak jangka panjang menjadi jelek. Minat wisatawan berkurang dan beralih ke daerah lain bahkan negara lain.

Dengar Aspirasi Masyarakat

Oleh karena itu, terang dia, pemerintah pusat harus memasang telinga dan hatinya dengan benar untuk mendengarkan suara, jeritan, aspirasi dan kepentingan masyarakat.

“Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk memaksakan kebijakan tarif ini untuk dilanjutkan. Apalagi jika menggunakan pendekatan keamanan, tidak akan memperbaiki situasi, justru akan semakin buruk dan mencoreng wajah wisata premium,” jelasnya.

Salang juga mengemukakan bahwa secara faktual, kebijakan ini telah kehilangan legitimasi dan public trust. Hal tersebut karena telah melahirkan konflik dan kegaduhan. Karena itu, kebijakan tersebut telah gagal dan sebaiknya segera dibatalkan atau dicabut kembali.

“Pemerintah pusat harus melihat fakta perlawanan ini dengan cermat dan tak perlu malu untuk menarik kembali. Apa yang terjadi saat ini adalah pelajaran penting dalam proses pembuatan kebijakan yang baik ke depannya,” tutupnya.

Selasa, 26 Juli 2022

Tanggal Lahir

*Cerpen Eto Kwuta

“Kapan kamu lahir, ‘nak?”

“Tanggal enam bulan enam, kala matahari terbit di timur.”

“Tanggal dan bulanmu sama-sama enam. Itu berarti kamu punya cinta sejati dan masa depan cerah,” kata seorang peramal kala aku dan Maria mengunjungi sebuah kedai kopi di kota Ende. Pulang dari kedai, kami jalan-jalan lagi ke taman Bung Karno ketika dulu ia duduk merenungkan butir-butir Pancasila. Kubayangkan, bagaimana sang proklamator itu duduk selayakanya sang pemikir yang sedang galau dengan bangsanya.

Hari itu malam Minggu. Aku dan Maria bertamasya kepada sejarah. Kami duduk di bawah bulan, bintang, dan di sekitar lampu-lampu taman terus bercahaya tanpa lelah. Jangkrik menangis; kelelawar terbang mencari makan dan terdengar bunyi suara mereka dari atas pohon sukun. Pohon yang masih ada di tengah taman. Mereka itu merindukan buah sukun yang sudah mulai masak. Entah mendapatkan jatah makan buah yang masak atau tidak, binatang biasanya punya insting sosial yang jitu. Seperti kelelawar di malam hari sibuk, tapi di siang hari, mereka tahu kalau waktunya tidur.

Kita memang beda dengan sekelompok kelelawar itu. Di bawah kolong langit, di sebuah taman, aku dan Maria duduk di samping Bung. Sesekali kupegang lututnya, sesekali kusentuh bajunya, dan sekali lagi kusentuh kepalanya.

“Kapan kamu lahir, Bung?” tanyaku padanya. Maria duduk melihat aku seperti orang gila karena pertanyaanku pada sebuah patung si Bung ini. Dan, aku lihat Bung diam saja. Ia sibuk berpikir. Kerjanya berpikir memang sangat berat. Ya, thinking.

“Maria, dia sedang galau. Kamu tahu kenapa dia galau?”

“Tidak tahu,” katanya. Dan, aku mulai membiasakan diri dengan bermain-main kata dengan Maria.

“Dia galau karena sedang memikirkan bangsa yang sudah tak menghargai lagi Pancasila. Bayangkan, ia duduk seperti ini sampai dunia tak ada lagi pun, ia masih di sini,” kumenciptakan sedikit basa-basi, biar kepalanya terbuka dan memahami sedikit soal sejarah. Kala itu, kami berdua duduk sambil makan gado-gado yang dibeli Maria sepulang dari kedai.

“Sayang, saya suka gado-gado, lho…,

“Aku benci gado-gado, le…” kataku dengan tegas. Kuberikan gado-gadoku yang tersisa untuk Maria, tapi sebenarnya aku juga suka gado-gado. Ah, biarlah untuk Maria saja, karena aku lebih suka melihatnya gemuk dan semakin sehat dari waktu ke waktu. Setelah usai tamasya, kami pulang membawa satu pertanyaanku yang belum dijawab oleh Bung.

**

Ingatan itu terus menari dalam kenang-kenangan. Aku seperti memutar ulang percakapan dengan Bung, juga kebersamaan dengan Maria. Lalu, besok adalah tanggal lahirku. Bulanku Mei sudah ditanggalkan kemarin dan aku juga sudah menangggalkan bau tubuh Maria, tapi ia masih segar di kepalaku, melilit di dasar otakku yang putih di dalam kepala.

Angin malam berhembus pelan. Di luar kamar, kelelawar masih sibuk mencari makan. Di dalam kamar, aku sibuk menoleh ke belakang, mengenang kota Ende, mengenang juga tanggal lahir; hanya aku, ibu, dan moa Petu. Moa Petu si dukun anak, ia membantu ibuku melahirkan. Waktu itu pagi hari, ketika matahari baru bangun tidur dari balik pulau Solor. Saat aku melihat dunia, Moa Petu mengatakan pada ibuku, “Anak ini memiliki hati sekuat batu karang, hidup seluas samudera, maka namailah anak ini dengan namaku,” katanya dengan penuh harap.

Ibuku sangat bahagia dan saat aku bertambah besar, ia pernah bercerita kalau Moa Petu adalah nelayan yang tangguh di masanya. Ia pelaut yang tidak takut mati ketika badai dan taufan menerjang. Ini kisah yang dulu sekali. Begitulah ibu sering bercerita, biar kami mengerti sejarah. Apalagi aku adalah si sulung yang lahir di tanah yang kecil tapi besar seperti Nurabelentana Manggarai. Jadi, aku sebaiknya tidak lupa dari mana asalku.

Dan, malam ini aku di sebuah pulau yang tidak jauh dari Flores. Pulau ikan paus, Lomblen, Lembata yang kering dan tandus. Aku duduk menunggu pagi, membayangkan bagaimana aku lahir. Perlahan, detik-detik berlalu hingga aku berada di suatu pagi yang penuh dengan air mata. Aku merajut air mata sambil menulis surat kepada ibuku Maria juga Mariaku kekasihku yang sudah lupa dengan gado-gado, kado ulang tahunku, waktu itu.

Lalu, aku mulai menulis, berharap ramalan itu tak ada, tapi sekarang telah menjadi nyata. Benar-benar nyata. Dan, kumulai merajut pena.

Ema,

     Tanggal lahir ini. Hanya aku dan kamu. Tidak ada Moa Petu, Maria, dan Bung. Aku tak merasakan sakitmu kala aku lahir, tapi kurasakan denyut jantungmu ketika aku keluar dari rahimmu yang harum mewangi. Rahim itu adalah sebuah rumah sejarah, sejarah yang menarik aku memanjat asal mula sebuah benih berkembang menjadi aku.

     Ema,

     Tanggal lahir ini. Hanya aku dan kamu. Maria yang memiliki nama sepertimu, tidak lagi mengerti sejarah. Ia hanya mengerti kalau pertanyaanku kepada Bung adalah pertanyaan tanpa masa depan. Selamanya, ia menghukum aku dengan tinggal di dalam kuburan masa lalu, sebuah rumah tanpa cita-cita. Cinta yang ema beri ternyata lebih mulia dari yang kuduga. Dan, cinta seorang Maria yang bukan ema adalah cinta yang tidak puas. Mengapa? Karena ia lebih suka melihat dunia,

menjual rahimmu kepada dunia, dan merasa puas dengan setengah jam saja.

     Ema,

     Kubuka jendela kamarku, kulihat ke luar. Gelap. Gelap yang rumit, sulit, pahit, sakit, penyakit, dan menjangkit ke mana-mana. Aku sekarat. Tubuhku sarat dengan kuk yang dipasang pada binatang yang suka membajak. Kerbau milik kita yang dulu, lebih setia rupanya kala aku mengayunkan cemeti ke tubuhnya, dan aku melihat cinta dari seekor binatang. Cinta yang lebih merdu rupanya datang dari seekor binatang, ema.

     Ema,

     Jangan hukum aku lagi. Ini tanggal lahirku. Hanya aku dan ema. Kita akan berkelana kembali ke batas sunyi, menengok rahimmu yang terus membuka diri, menerima aku yang sudah besar, menetaskan aku lagi, biar matahari mengeram telurku dan ema membakar dupa di sudut sunyi. Selalu.

     Ema,

     Aku tidak lupa tentang rahimmu. Rahimmu adalah sejarah. Kalau Bung mengatakan jangan sekali-kali lupa sejarah, maka aku mau ema jangan sekali-kali menjual sejarah karena sejarah bisa meringkas dan meringkus tubuh kita. Sejarah membuat kita terbelenggu ilmu pengetahuan, merasa menang, kemudian kita lupa menengok kembali.

     Ema,

     Kamu sejarahku. Aku sejarahmu. Maria sejarahku, sejarahku Maria, Bung? Jadi, mari kita merajut lagi kita yang tidak puas dengan sejarah. Aku selalu menunggu ema di sebuah rahim, karena tanggal lahir ini, kamu sudah menanggalkan bau tubuhku, bau sejarah yang terus mendidih secangkir rindu. Bau ini akan terus mekar dan harumnya merona kepada masa depan. Harumnya tak mati ditendang waktu, malahan waktu memeliharanya sampai ia benar-benar menjadi masak. Lalu, pada akhirnya kita mewartakan bahwa bau sejarah itu adalah bau yang mahal harganya. Maka, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah. Yang mencintaimu sampai mati, Aku dan Bung.

Teriring salam

Aku dan Bung

**

Aku selesai menyelami sejarah, tapi ini baru saja dimulai sejak Bung Karno tidak menjawab pertanyaanku dan Maria sibuk memakan gado-gado. Aku memang lelaki kurang beruntung, punya cinta tapi ditolak. Kemudian, peramal sudah bertindak, tapi meleset. Itu karena aku selalu membaca mantera yang ia berikan waktu itu.

Cinta sejati sayati hati seperti lucuti belati cemeti peti mati,” kuterus mengeja mantera penjinak kematian dengan penuh hati-hati. Sejak perjumpaan itu, hingga kini pun, di tanggal lahirku, aku sudah terbiasa dengan merasakan efek samping dari mantera. Mantera yang membuktikan aku tersakiti, tetapi dari mereka telah lahir sejarah. “Selamat ulang tahun, Bung”, kataku dengan rindu kepada sejarah, kemarin, hari ini, dan nanti.*

 Biara PRR, Lamahora, 05-06 Juni 2017

Selamat Ulang Tahun, Bung.

 

 Refleksi Tanggal Lahir dan Cinta Yang Tak Selesai

Catatan atas Cerpen Tanggal Lahir Karya Eto Kwuta
Oleh Hengky Ola Sura

Kisah yang diangkat oleh Eto Kwuta dalam cerpennya kali ini seharusnya menjadi keping kisah yang mengharukan pembaca. Sayang Eto seperti terlalu berputar pada eksplisitasi sosok ibu yang menurutnya lebih setia. 

Sosok seperti ibu yang bernama Maria dan perempuan kesayangan yang juga bernama Maria jadi pejal yang ikut meruyak perasaan pembaca. Betapa setia dan sayangnya ibu. Sementara sang Maria pujaan hati adalah sosok yag terlalu cepat melupakan sejarah. Hal remeh temeh macam makan gado-gado pemberian sang lelaki saja tak dianggap Maria apalagi pengorbanan dan lain-lainnya.

Bisa jadi fokus Eto adalah memang didedikasikan untuk ibu tercinta. Dan memang demikian seharusnyalah inti terdalam dari kisah yang momentnya adalah hari lahir. Lawatan ke Ende dan mampir ke taman Bung Karno jadi awal refleksi yang dibandingkan oleh Eto dalam cerpennya. Seorang anak janganlah melupakan sejarah dirinya sama seperti Soekarno memantik ingatan seluruh anak negeri untuk tidak melupakan sejarah bangsa. Untuk perpaduan perbandingan macam ini hemat saya bukti bahwa Eto ikut mengolah persoalan dengan sangat tekun. Persoalan dari skala macam sosok ibu bernama Maria, perempuan kesayangan yang juga bernama Maria dan resah penulis tentang hidup berbangsa yang ditanyakannya pada patung (baca; Bung Karno di taman Pancasila Ende). Bisa jadi ini semacam strategi Eto sebagai penulis cerpen yang ikut membangkitkan kesadaran pembaca untuk pertama-tama membuat semacam gumam-gumam tentang diri, kekasih sampai pada persoalan hidup bernegara.

Cerpen Tanggal Lahir adalah sebuah lukisan kisah yang kelam. Membahas kisah laki-laki yang hidupnya telah didoktrin untuk percaya pada peramal di kedai kopi juga sang dukun beranak saat kelahirannya. “Anak ini memiliki hati sekuat batu karang, hidup seluas samudera, maka namailah anak ini dengan namaku,”.

Kata-kata sang dukun ini membawa sang lelaki untuk terus tegar dalam kompleksitas persoalan selanjutnya. Sosok perempuan bernama Maria, tambatan hati sang lelaki itu pun jadi pembuka jalan dari deret persoalan selanjutnya. Meski persoalan selanjutnya itu tak dibahasakan lebih jauh. Cerpen ini tetap jadi satu momen refleksi yang membangkitkan kesadaran bahwa Eto ikut melecutkan ingatan kita pada persoalan-persoalan sosiologis hingga kepada persoalan psikologis. Pengolahannya terasa terlalu eksplisit namun ia hadir menggoda dengan hal-hal yang subtil. Tanggal lahir tetap menghadirkan kenangan untuk mengenang ibu juga perempuan kesayangan yang akhirnya jadi mantan. ***

Kamis, 21 Juli 2022

NOL (Sebuah Teater oleh Eto Kwuta)

SETTING STAGE: LIHAT DI GAMBAR PER SCENE
SETTING SOUND 1: BUKA MELODY OF MY DREAMS
SETTING CAHAYA:

1. LAMPU OFF
2. LAMPU SPOT MENYALA TEPAT SASAR DI D1, SAMBIL KELAP-KELIP MENGIKUTI GERAK D1. PENCAHAYAN STAGE LAIN MENGIKUTI.

SCENE 1

PROLOG

 

D1: (Action mulai dari belakang background, bergerak ke tengah mengikuti jalan, keadaan rambut basah, menggiggil kedinginan, terus moving, berhenti, tunduk mengambil salah satu balon kecil yang dibiarkan berserakan di stage; bingung, tertawa, berteriak, berhenti pas di dekat lingkaran dan menunduk mengambil tas sekolah, memungut kertas-kertas putih bersih tanpa coret-coret, melihat lingkaran, lalu menyusur dari kiri ke kanan, sambil memungut terus kertas putih, menyimpan di tas, pelan-pelan lalu semakin cepat sampai lagi di titik temu dan berhenti. Mata menatap ke arah penonton, membelalak, tapi belum bisa berkata apa-apa. Lalu D1 membawakan DEMONSTRASI kepada penonton.

NOL

NOL

(Tertawa)

NOL

NOL

(Meratap)

NOL

NOL

(Berteriak)

NOL BULAT

BULAT NOL

(Bergerak menuju kanan, bergerak menuju tengah)

NOL, NOL, NOL, NOL, NOL, NOL, NOL………

(Bergerak menuju kanan, menuju tengah, beridiri tetap)

NOL, NOL, NOL, NOL, NOL, NOL, NOL….

KAMU TERTAWA KARENA….

AKU PUNYA NOL?

(Tertawa terbahak-bahak)

JANGAN TERTAWA!

TERTAWAMU HANYA BUNYI KOSONG

(Marah)

JANGAN RIBUT! JANGAN RIBUT!

RIBUTMU HANYA ASAL OMONG!

NOL

NOL

BULAT

BULAT

NOL

NOL

(Mengulang sampai instrument selesai, lalu berdiri diam di titik tengah lingkaran)


SETTING CAHAYA: LAMPU OFF
SETTING SOUND      PERLAHAN: SOUNDTRACK PERALIHAN-ETERNITY
SETTING CAHAYA: LAMPU NYALA PERLAHAN

SCENE 2

 NOl

D1 Melanjutkan Monolognya:

Pada mulanya adalah nol,

Nol itu ada bersama nol

Nol itu tinggal di dalam nol

Nol itu ada di dalam nol

Ada nol di dalam nol

Di dalam nol ada huruf ‘O’

Ooooooooooo……

“Saya ANAK yang baik”

“Saya orang muda yang baik”

Oooooooooooo….

(Tertawa)

Ooooooo…

Dia orang muda Katolik, ya…ya…

(Menatap geram dan ganas)

Dan,

Oooooooo…,

Aku anak ayah dan ibu

Ooooooooo….

Aku anak muda

(Kaget)

Ooooooooo,

Bodoh….bodoh….memang bodoh….

Aku baru sadar o….

Bahwa aku orang muda?

Siapa yang salah? Siapa yang salah? Siapa yang salah? (Mengamuk-marah)

Aku atau mama dan bapa!

COBA

Aku atau guru-guruku!

Aku atau Para klerus??

COBA

Jangan salahkan aku! Jangan salahkan aku o….

Jangan tangisi aku, tetapi tangisi dirimu dan anak-anakmu!

 

SETTING SOUND: BUKA LAGU THE SOUND OF SILENCE

 SCENE 3

BATTLE

D1: (Mulai bermain-main dengan property, sebuah peti yang diletakkan di depan penonton. Pada bagian ini, si D1 akan berakting mengikuti bunyi lagu. Tuntutan acting di sini, yakni bermain-main dengan simbol/property PETI yang ada. Sesekali dia mengangkatnya, namun tak mampu, ia jatuh perlahan, bangun lagi berusaha untuk angkat kembali. Lakukan ini untuk membangkitkan emosi penonton, jadi tututan acting ialah harus mengambil atau mencuri perasaan penonton. Setelah itu, D1 harus marah dan menangisi keadaan, sambil merusak atau menghancurkan peti tersebut, lalu menatap ke arah penonton dengan moving yang pelan).

 

D1:              KEMBALI. PULANG. KEMBALI. PULANG. KEMBALI PULANG KE NOL. (Bergerak maju ke depan untuk bermonolog dengan lantang)

                        Apa kamu sudah paham? Duniaku yang fana, di luar mesin-mesin menyala, asap mengepul, perang menghasilkan darah dan ari mata. Di dalam, aku merasa kalah. Ketika satu demi satu merasa bingung dan bertanya: “Mau jadi apakah angkatan ini?” Aku malu, ketika orang bertanya tentang KITA.

                         Aku malu menjadi orang muda. Makanya, aku minta kita kembali ke NOL. NOL, NOL, NOL, NOL, NOL, NOL, Hahahahah… (tertawa natural). Kadang orang paham, kadang tidak paham. Aku lihat anak-anak muda lebih mencintai hp dari pada Tuhan. Hahahahahha…..

Tuhan, Tuhan, he…sekarang kamu sudah jadi nomor dua. Hahahahah…. Tuhan, kamu sudah dinomor-duakan. Nomor satunya, hp, nomor duanya, sms, nomor tiganya, facebook, nomor empatnya, whatsapp bro….

(Maju ke depan, duduk di tangga)

Permisi, permisi. Aku mau tanya sama angkatan ini? Di mana kamu lahir? Di mana kamu lahir? Lihat Yesus! Dia lahir di palungan, lalu kita? Kita lahir di kasur empuk, tapi gara-gara……..Gara-gara sekali!

Kalau mau jadi ORANG MUDA KATOLIK, mau jadi anak-anak Gereja, Bangsa, dan Negara, pertama, harus lebih banyak telepon dengan Tuhan. Kedua, sms dengan Tuhan juga. Ketiga, kembali. Kembali ke NOL. KEMBALI. KEMBALI KE NOL SUDAH. KEMBALI…… KEMBALI…..(Ajak terus sambil bergerak berdiri di tengah Nol, sedih, marah, lalu lagu LITTLE DRUMER BOY dibuka, D1 bangun menatap penonton, lalu perlahan melangkah keluar stage, sambil mengajak kembali, pelan-pelan melangkah, lalu mengajak lagi, kembali, sampai keluar dari stage. Lagu terus dibuka sampai selesai.).

 

The End

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya....