Jumat, 26 Agustus 2022

Teater Evergrande Syuradikara



Tahun 2017, 10 November telah dipentaskan Tungku Haram karya seniman revolusioner Zarathustra. Beliau adalah seorang pastor dalam Serikat Sabda Allah atau SVD yang aktif menelurkan judul-judul teater yang bernas. 


Dalam tahun-tahun kemarin, juga sudah mendahului Tungku Haram, semisal Separuh Nafas, Kursi Retak, dan lainnya merupakan judul-judul yang saling sambung-menyambung. Judul yang satu berkaitan dengan judul kedua, ketiga, dan seterusnya.


Implikasi praktis dari semua itu tampak dalam 'dapur' Evergrande Syuradikara. Di dalamnya, lahir metamorfosis seni yang memiliki kahrakter edukasi.


Berbicara soal edukasi atau pendidikan yang berkahrakter, saya tidak meragukan Syuradikara sebagai lembaga pendidikan yang kreatif-inovatif. Maka, jika tahun kemarin dalam 'Tungku Haram' itu, belum memberikan tingkat kepuasan publik karena sound system yang kacau, maka pada Maret yang akan datang, Evergrande Syuradikara akan kembali.


Artinya, panggung adalah sebuah publikasi riil yang sebaiknya memberi dampak. Publikasi riil di sini bukan soal dokumentasi fotografi dan videografi saja, tapi soal keseluruhan seni yang ditampilkan di atas panggung.


Saya berasumsi bahwa 'Tungku Haram' adalah satu dari sekian banyak judul teater yang berevolusi oleh karena Sutradaranya. Saya melihat bahwa revolusi sosial-politis dalam seni sungguh-sungguh lahir di dalam Evergrande Syuradikara. Dinamikanya ada dan sangat revolusioner.


Yang revolusioner itu ada dalam diri Zarathustra sebagai sutradara dan tidak terlepas dari semua crew yang terlibat di dalamnya. Ada semacam spiritualisme kritis ala Ayu Utami, tapi ia menyikapi secara kritis soal Human Trafficikng. 


Kalau dalam Bilangan Fu, Ayu Utami menobatkan Spiritualisme Kritis bagi para pemeluk agama, maka dalam 'Tungku Haram' saya berani mengatakan bahwa telah lahir Spiritualisme yang Revolusioner. Dalam arti, seni dihadapkan bukan terpaku dalam satu titik seni, melainkan banyak. (Going on).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya....