Selasa, 02 Agustus 2022

Mogok Massal, Pariwisata Labuan Bajo Mati

Jalanan kota di Labuan Bajo pada Senin (18/7/2022) tampak padat. Kendaraan roda dua dan empat tak begitu banyak yang bergerak. Hanya ada barisan manusia.

Mereka adalah para pelaku pariwisata dan masyarakat yang merasa peduli hingga turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi.

Fitri W. Rodja, praktisi pariwisata yang terlibat langsung mengatakan, para pendemo sudah bergerak dari BTNK menuju Kantor Bupatai Manggarai Barat.

“Massa sudah bergerak dari BTNK, karena saat kami di sana, kepala BTNK-nya kabur. Beberapa pendemo masuk untuk menemui beliau, tetapi dia menghilang,” kata Fitri.

Fitri bilang, oleh karena kepala BTNK suka membuat MoU tanpa ada sosialisasi atau persetujuan, maka barisan mereka terus bergerak.

“Dengan kekuatan yang ada, semua yang hadir, juga masyarakat, kita menolak,” katanya.

Tidak berhenti di situ. Sebagaimana dilansir Antara pada Jumat (29/7/2022), barisan warga Labuan Bajo melakukan protes atas kenaikan tarif masuk ke Pulau Komodo, Pulau Padar, dan wilayah perairan lain dalam wilayah Taman Nasional Komodo Labuan Bajo tersebut.

Dengan suara keras, mereka membangun pekikan keluh kesah di depan Hotel Loccal Collection Labuan Bajo yang menjadi tempat pertemuan konferensi pers peluncuran aplikasi INISA.

Diketahui, INISA adalah aplikasi untuk sistem reservasi ke lokasi yang telah dimaksud tersebut.

Tampaklah, warga tersebut merupakan gabungan dari beberapa organisasi pelaku pariwisata di Labuan Bajo.

“Mereka melakukan protes sejak pukul 09.00 Wita. Mereka pun melakukan aksi menahan mobil yang dikendarai oleh Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi,” kata Etho, praktisi wisata yang lain saat dihubungi Ekora NTT, Selasa (2/8/2022).

Berdasarkan informasi, Etho bilang, hari itu, warga menuntut adanya pernyataan dari Bupati Manggarai Barat terkait kenaikan tiket yang akan berlaku tanggal 1 Agustus 2022 sebesar Rp3,75 juta.

Selain itu, ia menambahkan, warga berjuang keras untuk mendesak Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur Zeth Sony Libing yang ada di dalam hotel untuk memberikan pernyataan.

Hentikan Aktivitas Wisata

Asosiasi Pelaku Wisata dan Individu Pelaku Wisata Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT menyatukan persepsi dalam MoU untuk menghentikan aktivitas pariwisata seiring dengan rencana kenaikan tiket masuk Pulau Komodo mencapai Rp3,7 juta per orang pada 1 Agustus 2022.

"Kami bersepakat untuk menghentikan semua jenis pelayanan jasa pariwisata di Kepulauan Taman Nasional dan di seluruh destinasi wisata di Manggarai Barat mulai 1-31 Agustus 2022," kata Koordinator Pelaku Wisata dan Individu Pelaku Wisata Kabupaten Manggarai Barat Rafael Taher pada Sabtu (30/7/2022).

Ia mengatakan, aksi tersebut sebagai bentuk protes penolakan pelaku pariwisata di Manggarai Barat.

Rafael mewakili seluruh pelaku wisata di Manggarai Barat menilai, kehadiran PT. Flobamor Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik pemerintah NTT sangat memonopoli sektor pariwisata di Manggarai Barat.

“Hal ini menyebabkan kemiskinan bagi seluruh pelaku pariwisata serta masyarakat di Labuan Bajo, Manggarai Barat,” ungkapnya dilansir Antara, Sabtu (30/7/2022).

Karena itu, ia menegaskan, komitmen bersama menghentikan semua aktivitas pelayanan jasa pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat itu tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Terima Konsekuensi

Lewat MoU tersebut, Rafael bilang, para pelaku wisata akan menerima konsekuensinya.

“Jika ada yang melanggar MoU tersebut, para pelaku wisata itu seperti pemilik kapal wisata, pemilik penyedia jasa transportasi darat, pemilik restoran, pemilik hotel, fotografer, guide, pelaku usaha kuliner,” katanya.

Lebih tegas lagi, adapun sanksi lain adalah jika ada yang melanggar MoU itu maka, pelaku wisata itu harus bersedia untuk dibakar bentuk fasilitasnya.

Terkait wisatawan yang sudah memesan tiket pesawat atau hotel di Labuan Bajo, kata Rafael, pihaknya tidak akan melarang.

"Kita tidak larang wisatawan datang. Tetapi mohon maaf jika sudah tiba di Labuan Bajo, tidak ada travel yang akan jemput," tambahnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sony Zeth Libing menegaskan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur tetap memberlakukan tiket masuk ke Pulau Komodo dan Padar sebesar Rp3,75 juta sekalipun ada pihak yang menolak dengan tarif baru yang mulai diberlakukan pada 1 Agustus 2022.

"Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sangat menghargai aspirasi masyarakat yang menolak terhadap kenaikan tiket masuk sebesar Rp3,75 juta ke Pulau Komodo dan Pulau Padar. Semua aspirasi itu kami kaji namun tentu pemberlakuan tarif baru masuk ke Komodo tetap dilakukan pada 1 Agustus karena sudah melalui kajian yang matang," ungkap Kadis Sony.

Sony menambahkan, pihaknya juga membuat antisipasi lebih awal sebelum terjadi persolan lebih luas yang terjadi pada habitat Komodo dan ekosistemnya.

Aksi Mogok

Massa dalam jumlah banyak, dari banyak latar belakang profesi memulai aksi mogok dengan gerakan bakti sosial membersihkan sampah di Labuan Bajo, Senin (1/8/2022).

Terlihat dalam video yang beredar di WhatsApp, sekelompok massa membawa karung, plastik, dan juga beberapa pamflet dengan tulisan.

“Laskodat Sampah Masyarakat,” bunyi tulisan itu kala dipegang oleh seorang lelaki berkaca mata yang tergabung dalam gerakan membersihkan sampah itu.

Video lainnya menunjukkan gabungan keamanan dari polisi dengan kendaraan roda empat dibarengi bunyi sirene polisi melewati jalan di dalam kota Labuan Bajo.

“Dari Polda, hoe senjata lengkap, luar biasa, luar biasa,” kata perekam video tersebut diikuti gerutu beberapa teman di sampingnya.

Kala siang hari, tiba-tiba seisi kota Labuan Bajo terlihat mencekam lantaran polisi diduga melakukan penangkapan dan pemukulan terhadap para pelaku wisata yang melakukan bakti sosial dan berorasi sebagai satu rangkain upaya mogok untuk menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di TN Komodo.

Dilansir Floresa.co, Senin (1/8), beberapa aktivis sudah diamankan di Polres Mabar, sementara beberapa lainnya terluka setelah dipukul oleh aparat.

Aparat keamanan, baik polisi, Brimob maupun tentara memang terlihat memenuhi kota Labuan Bajo menyusul penetapan status siaga satu di wilayah itu.

Mereka terlihat siaga di depan hotel-hotel, fasilitas publik seperti bandara dan pelabuhan, serta ada yang patroli keliling kota.

Suasana kota memang tidak ramai seperti biasanya. Bandara sepi dan pelabuhan tidak beroperasi. Wisatawan yang sudah tiba di Bandara Komodo Labuan Bajo terpaksa dijemput dengan angkutan umum yang dikendarai polisi.

Opyn, seorang anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Manggarai Barat mengatakan, mereka menggelar bakti sosial memungut sampah mulai dari KSPN Puncak Waringin, Waterfront, sampai di jalan depan Bandara Komodo, sambil berorasi.

“Selama aksi digelar, kami dikawal oleh aparat polisi dan Brimob dari Polda NTT serta polisi pamong praja setempat,” katanya.

Suasana memanas ketika mereka tiba di jalan raya depan Bandara Komodo, di mana, ia bilang, aparat melakukan pengawalan lengkap bersenjata laras panjang.

Ophyn menceritakan, aparat menghentikan orator dan melepaskan tembakan peringatan dan saat bersamaan mengejar pun menangkap sejumlah pegiat pariwisata.

“Aneh rasanya. Kami dikawal dengan senjata laras panjang. Padahal kami melakukan aksi pungut sampah dengan orasi. Di depan jalan, depan Bandara, aparat melepaskan tembakan lalu mengejar dan menangkap teman-teman kami. Teman-teman kami ditendang, dicekik, dipukul, sampai berdarah,” tutur Opyn.

Di antara pegiat pariwisata yang ditangkap, dua di antaranya, Rafael Todowela dan Aloys Suhartim Karya selaku orator selama aksi damai tersebut.

Menolak Komersialisasi

Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema menolak praktik komersialisasi secara brutal di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Menurutnya, pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.

“Pada prinsipnya saya menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Namun, mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal?” tanya Anggota Komisi IV DPR RI yang kerap disapa Ansy Lema di Jakarta, Sabtu (16/7/2022).

Ansi mengatakan dengan keras, bahwa itu adalah kritiknya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia.

Ansy bilang, hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) adalah merekomendasikan pembatasan.

Tetapi, lanjut Ansi, mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan izin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.

"Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri," gugatnya.

Ansy menerangkan, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.

Ansi Lema mengemukakan bahwa terdapat dua kejanggalan yang sedang terjadi dalam kasus tersebut.

Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo.

“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan PT. Flobamor,” ungkapnya.

Menurutnya, tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Komodo dan Padar?

“Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” tegas Ansy.

Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif.

Ia bilang, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata.

“Di mana letak keadilan sosialnya? Seharusnya uang konservasi diambil pemerintah dari perusahaan yang melakukan perusakan alam, seperti perusahaan sawit, perusahaan batubara, korporasi tambang, dan sebagainya. Tarik pajak lebih banyak dari mereka dan kemudian disubsidi silang untuk biaya konservasi, bukan dari masyarakat Indonesia yang mau berwisata,” pungkas politisi PDI Perjuangan ini.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Sebastian Salang, menilai kebijakan kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar Rp3,75 juta per orang telah mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, pelaku wisata, pelaku bisnis, dan perasaan masyarakat setempat.

Menurut Salang, pelaku pariwisata di Labuan Bajo melakukan mogok total terkait pelayanan bagi wisatawan dan sebagai bentuk penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.

“Hal itu merupakan tamparan keras bagi wajah pemerintah pusat dan daerah khususnya provinsi yang melahirkan kebijakan,” katanya kepada Ekora NTT, Selasa (2/8/2022).

Salang berujar, penolakan dan perlawanan besar-besaran tersebut adalah gambaran bahwa kebijakan tersebut cacat proses dan gagal mendeteksi aspirasi dan kepentingan serta harapan masyarakat.

“Potret kebijakan yang dipaksakan, top down, sempit demi angan-angan keuntungan besar yang ditempuh melalui jalan pintas,” tandasnya.

Ia menilai, penolakan dan perlawanan massa juga merupakan fakta kebijakan yang telah gagal dan kehilangan legitimasinya.

“Kebijakan yang baik pasti direspons, diterima dan dijalankan oleh semua stakeholder dan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan yang buruk dan dipaksakan pasti ditolak bahkan dilawan. Itulah yang terjadi di Labuan Bajo. Pemerintah harus menyadari itu,” tegas politisi asal Manggarai itu.

Faktanya saat ini, lanjut dia, kebijakan kenaikan tarif ini telah menimbulkan efek sangat buruk bagi pelayanan pariwisata. Banyak wisatawan menunda dan membatalkan perjalanannya ke Labuan Bajo.

Selain itu, image terhadap daerah wisata premium jadi rusak dan buruk. Bukan mustahil dampak jangka panjang menjadi jelek. Minat wisatawan berkurang dan beralih ke daerah lain bahkan negara lain.

Dengar Aspirasi Masyarakat

Oleh karena itu, terang dia, pemerintah pusat harus memasang telinga dan hatinya dengan benar untuk mendengarkan suara, jeritan, aspirasi dan kepentingan masyarakat.

“Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk memaksakan kebijakan tarif ini untuk dilanjutkan. Apalagi jika menggunakan pendekatan keamanan, tidak akan memperbaiki situasi, justru akan semakin buruk dan mencoreng wajah wisata premium,” jelasnya.

Salang juga mengemukakan bahwa secara faktual, kebijakan ini telah kehilangan legitimasi dan public trust. Hal tersebut karena telah melahirkan konflik dan kegaduhan. Karena itu, kebijakan tersebut telah gagal dan sebaiknya segera dibatalkan atau dicabut kembali.

“Pemerintah pusat harus melihat fakta perlawanan ini dengan cermat dan tak perlu malu untuk menarik kembali. Apa yang terjadi saat ini adalah pelajaran penting dalam proses pembuatan kebijakan yang baik ke depannya,” tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya....