Dari
Peristiwa ke Imajinasi
(Apresiasi atas Cerpen Hujan di Biara
karya Hans Hayon)
Oleh
Eto Kwuta
Sebuah
cerpen kadang ditafsirkan memiliki bobot tertentu, mengandung pesan-pesan yang
setidaknya mengintensifkan cara pandang pembaca terhadap kenyataan. Seperti halnya
novel, cerpen terbagi dalam dua garis besar, yaitu cerpen fiktif dan faktual.
Cerpen fiktif harus benar-benar fiksi, khayalan, bahkan impian. Cerpen semacam
ini paling sering dijumpai di tabloid atau majalah hiburan. Sedangkan cerpen faktual
berangkat dari kejadian nyata atau realitas sosial. Cerpen faktual memang juga
fiksi, tetapi tidak sepenuhnya fiksi karena masih berpijak bahkan mengais-ngais
kenyataan. Cerpen faktual biasanya hadir dalam surat kabar (surat kabar yang
sudah terpercaya, seperti Pos Kupang dan
Flores Pos).
Menjadi
soal, ketika cerpen dilihat sebagai bentuk bacaan hiburan (muncul setiap hari
Minggu). Dan Pos
Kupang, Minggu, 2 Maret 2014 menurunkan sebuah cerpen dengan
judul Hujan di Biara (Surat Untuk Tuhannya Grace) karya Hans Hayon. Cerpen yang
sangat menarik. Setelah membaca cerpen ini, saya bangga dengan kecerdasan Hans
membaca peristiwa dan mengemasnya dalam imajinasi yang memukau. Sebuah pertanyaan,
apakah cerpen ini hanyalah sebuah hiburan saja?
Bertolak dari
pertanyaan tersebut, saya mengajak kita melihat
lebih jauh serentak memaknai nilai apa saja dalam cerpennya tersebut. Sehingga,
cerpen bukan sekedar hiburan, tetapi mengantar pembaca kepada satu interpretasi
dan juga apresiasi.
Hans
mencipta cerpennya dalam alur atau plot yang unik. Pertama, Bagian
awal. Cerpen ini mempunyai
dua bagian, yaitu eksposisi dan instabilitas (ketidakstabilan). Eksposisi menjelaskan atau
memberitahukan informasi yang diperlukan untuk memahami cerita. Dalam hal ini,
eksposisi yang ditampilkan berupa penjelasan tentang sisi Grace di tahun 2000.
Menarik sekali karena Hans membiarkan Grace (tokoh aku) berbicara terbuka dan
penuh keyakinan. Seolah-olah Hans adalah Grace. Artinya, Hans menyelami
perasaan perempuan, bahkan pelan-pelan menjadi perempuan yang menulis, MUNGKIN akulah wanita pertama yang
berani menangis karena sebuah biara. Kegeramanku memuncak saat panggilanku
makin sekarat hanya karena lilitan aturan hidup yang baku. Kaku. Aturan yang
membuatku terpaksa beranjak pergi,...dst. Hemat saya,
eksposisi tersebut mengantar pembaca seolah-olah menjadi Grace. Kita (baca:
pembaca) adalah juga aku-nya Grace yang bebas serentak nyata. Begitu juga dengan instabilitas (ketidakstabilan), yang mana terdapat keterbukaan.
Yang
dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala persoalannya.
Hans menulis: Sesudah
menemukan kebuntuan atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut, aku
putuskan untuk mengakhiri ziarah panggilanku sebagai seorang biarawati. Hal
yang lumrah bukan, jika seorang wanita sepertiku melakukan hal demikian dalam
situasi terjepit? Tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai
bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas serentak menimbulkan
pertanyaan, mengapa Grace memutuskan untuk mengakhiri panggilannya? Maka, dari ketidakstabilan
ini muncul pengembangan cerita ke tahun 1999.
Kedua, bagian
tengah (tahun 1999). Ketidakstabilan di atas menimbulkan suatu pengembangan
cerita, tetapi tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Hans justru memulai
dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan di atas.
Jawaban itu sedikitnya menggambarkan konflik, bahwa Grace berhenti dari
panggilannya karena jatuh cinta. Seperti apa Grace jatuh cinta? Hans
menguraikan; Gerbang
neraka seakan melebar pada cinta jenis ini. Cinta yang diharamkan oleh agama,
masyarakat, tradisi, dan mungkin Tuhan juga. Apakah itu cinta
sesungguhnya? Atau cinta yang diharamkan? Hal yang sangat menarik ialah Hans
menguraikan posisi Grace yang sadar, hidup, dan kritis itu saat berhadapan
dengan persoalan cinta juga sahabat karibnya, Ratih.
Ketiga,
Bagian
terakhir. Hans memberi kejutan (surprise)
yang terletak pada kalimat: "Maafkan
aku, suamiku. Aku hanya sanggup menatapmu dari tempat ini tanpa berbuat banyak
untuk menolongmu,". Saya justru tidak menemukan Hans menguraikan
bagaimana kematian Grace, tetapi saat membaca kalimat ini, saya akhirnya paham
kalau peristiwa kematian itu sudah diuraikan pada bagian tengah
cerpen, yaitu tampak dalam kalimat; Ketika
pagi belum terlalu dewasa, betapa kagetnya Ratih saat menemukan Grace tak ada..dst.
Luar biasa, Hans mengedepankan sisi
"Grace" yang masih mencintai suaminya walaupun ia sendiri mati karena
suaminya, Lukas Sabtu. Dalam ceritanya, kita dihadapkan akan
pertanyaan-pertanyaan reflektif tentang cinta dan pilihan. Grace adalah sebuah
keberanian dalam mencintai. Setelah membaca kisah ini, bertanyalah kepada diri Anda
sendiri: "Apakah cinta yang membahagiakanmu?"
Dengan begitu, cerpen
Hans sungguh berangkat dari peristiwa ke imajinasi. Hans
membaca peristiwa yang pernah terjadi dan meraciknya kepada imajinasi.
Imajinasi memang sifatnya begitu individualistik. Namun, kekuatan imajinasi
membebaskan satu karya dari keterikatan penulis dengan suatu peristiwa. Hans
telah menunjukkannya bagi kita. Profisiat untuk Hans Hayon!*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar