Rabu, 19 November 2014

Sastrawan Perlu Gelisah



(Sebuah Catatan Reflektif untuk Mario F. Lawi)
Oleh Eto Kwuta 
  Beberapa hari lalu, saya mengomentari puisi Diana Timoria yang di-tag pada dinding facebook saya oleh saudara Mario F. Lawi. Puisi Diana Timoria ini dipublikasikan di Harian Sore Sinar Harapan, 22-23 Maret 2014. Komentar sederhana saya kutip dari pernyataan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, akademisi UI dan sastrawan Indonesia yang sempat melontarkan sebuah pernyataan demikian, “Di masa yang akan datang akan lahir banyak pengarang perempuan karena laki-laki malas membaca. Maka, kita kaum laki-laki, pencinta sastra, sastrawan muda sepert Mario F. Lawi, dan lain-lain, mari kita ringkus kata ‘onani’ itu dari ranah sastra. Diana Timoria, proficiat untukmu saudari.” Begitulah komentar kecil dari saya. 
Selanjutnya Mario F. Lawi menanggapi komentar saya isinya, “pengarang perempuan lahir bukan karena laki-laki malas baca, tetapi memang karena sonde perlu ada ‘perempuan’ atau ‘laki-laki’ setelah kata ‘pengarang’. Tidak salah apa yang dikatakan Mario. Lebih jauh lagi Mario mengomentari bahwa, “kata-kata Sapardi itu dilontarkan dalam konteks penilaian karya-karya mereka yang ikut sayembara novel DKJ beberapa tahun yang lalu. Jadi, sonde perlu digeneralisir.
Penulis tidak mempersoalkan kapan Sapardi melontarkan pernyataan tersebut kepada publik, tetapi mengutip pernyataan tersebut dengan tujuan memotivasi serentak mengapresiasi Diana Timoria. Penulis tidak merasa terganggu kalau komentar itu dianggap Mario sebagai generalisasi, namun sesuatu yang mengganggu horison berpikir saya yaitu, ekspresi penolakan Mario terhadap komentar saya. Itu berarti Mario ingin mempertahankan pernyataan Sapardi hanya dalam konteks penilaian karya-karya waktu itu dan merasa terganggu dengan kata ‘onani’ yang terselip dalam komentar tersebut di atas. Sehingga saya kemudian mengerti kalau Mario menganggap saya mengeneralisasi pernyataan Sapardi kepada kata ‘onani’ di atas. Jadi, penulis hendak memperkecil anggapan Mario dengan membaca lebih jauh mengenai pernyataan Sapardi sebagai ungkapan “kegelisahan sastrawan”.

Kegelisahan Sapardi
Ignas Kleden pernah mengutarakan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam sebuah struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisika, yakni hubungan manusia dan alam semesata. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Berdasarkan apa yang diutarakan Ignas Kleden tersebut, penulis bisa mengatakan ada perbedaan antara Mario dan Sapardi. Sapardi menyampaikan sebuah fakta yang benar-benar ada karena rasa gelisah (kegelisahan politik), sedangkan Mario tidak perlu lagi gelisah karena sudah berada pada titik aman. Dengan demikian, penulis berani mengatakan kalau Mario tengah mengalami kegelisahan eksistensial, karena banyak hal dalam dirinya sudah dipecahkan sendiri (menghasilkan karya sastra berupa puisi maupun cerpen).
Ketika berhadapan dengan perjuangan perempuan untuk lahir kembali (baca: menciptakan karya-karya sastra), seorang Sapardi melihat kemungkinan lain di waktu yang akan datang. Pertama, saya menyebut pernyataan Sapardi sebagai satu kegelisahan. Mengapa? Kita perlu menyadari kalau generalisasi tidak selamanya negatif. Tetapi pada tataran tertentu generalisasi berdaya guna membangun, memotivasi, bahkan membongkar kemapanan apa pun itu. Hal ini dinamakan sebagai generalisasi empiris yang berangkat dari tesis, hukum, atau hipotesis berdasarkan pengamatan terhadap kenyataan tertentu dan sifatnya sangat spesifik. Dan ketika Mario menganggap komentar saya sebagai suatu generalisasi, itu bisa benar bisa juga tidak. Karena mempertimbangkan kegelisahan Sapardi tersebut, beliau justru membuat sebuah generalisasi juga, yaitu generalisasi empiris. Mungkin karena fenomena empiris yang ditemukan beliau yaitu, laki-laki sekarang malas membaca.
Kedua, kegelisahan Sapardi yang mengantar beliau melontarkan pernyataan tersebut bermakna menanti sesuatu yang lebih baik (kerinduan) dan bukan rasa takut atau cemas karena pengarang perempuan bakal mendominasi laki-laki. Itu berarti kegelisahan Sapardi bukan omong kosong atau semu. Sapardi justru melihat peluang lahirnya pengarang perempuan yang lebih banyak. Ada semacam kerinduan terdalam seorang Sapardi supaya perempuan kembali kepada kesederajatannya dengan laki-laki. Dengan membenarkan ungkapan Mario, tidak ada ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ setelah kata pengarang. Di samping itu, Sapardi tidak semata mengakarkan pernyataannya dalam konteks penilaian karya-karya waktu itu, tetapi melihat kemungkinan lain di masa yang akan datang. Adalah sangat mungkin kalau pengarang perempuan lebih banyak ketimbang pengarang laki-laki untuk beberapa tahun ke depan.

Sastrawan NTT (yang) Gelisah?
 Seorang sastrawan sejati ialah sastrawan yang perlu merasa gelisah. Tampak jelas sekali kita sedang mendapati satu bentuk kegelisahan seorang Sapardi. Kalau seorang sastrawan senior seperti Sapardi sudah merasa gelisah, apalagi sastrawan-sastrawan lainnya. Bertolak dari sini, penulis hendak mengajak adalah baik sastrawan NTT gelisah kalau nanti akan muncul banyak pengarang perempuan atau perempuan yang menulis lebih banyak ketimbang laki-laki. Hemat penulis, ini hal yang positif. Tidak mengurangi rasa hormat terhadap Mario, pernyataan Sapardi di atas sebenarnya membingkai sebuah kritik terhadap dunia sastra, khususnya di NTT. Artinya, kritik bukan hanya untuk pengarang perempuan saja, melainkan juga para sastrawan atau pengarang laki-laki. Mengapa kritik?
Pertama, sastra yang dianggap sebagai hasil ‘onani’. Sebuah opini Dody Kudji Lede menggarisbawahi kalau sastra bukan lahir dari hasil onani, sehingga perlu disadari bahwa sastra bukan hanya soal laki-laki, tetapi juga perempuan (PK, 1/3/2014). Ketika menyentil opini Dodi K. Lede dalam diskusi kecil di facebook, Mario mengatakan kalau Pos Kupang menurunkan opini tersebut dengan muatan politik. Hemat saya, Harian Pos Kupang menurunkan opini ini bukan karena intensitas politik, tetapi karena memang sangat perlu untuk membuka pemahaman publik bahwa sastra itu harus dihidupi baik oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika berbicara soal ‘onani’, maka ada tendensi kalau laki-laki merasa super dan mengatakan hanya laki-laki yang bisa beronani. Atau hanya laki-laki yang lebih banyak menulis tentang sastra. Benarkah demikian?
Kalau kita menengok sastrawan Indonesia, misalnya Joko Pinurbo, Goenawan Mohamad, Sutardji C. Bachri, Dami M. Toda, Gerson Pyok,  atau sastrawan muda NTT seperti Mario F. Lawi (yang saya bicarakan dalam tulisan ini), Ishack Sonlay, Gusti M. Raya, dan lainnya, bisa dikatakan kalau banyak penulis itu laki-laki. Namun, hal yang perlu diperhatikan ialah kita harus menghapus kata ‘onani’ dalam ranah sastra.
Kedua, sastra yang dianggap tidur dalam kulkas. Saya mengutip bunyi dua baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan dengan seekor anjing”. Bunyinya demikian, “AKU tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik (Media, 02/02/03).   Hemat saya, Afrizal sebetulnya mengajak siapa saja untuk tidak tidur dalam pemikirannya sendiri serentak memutlakan kultus-kultus yang ada (pembekuan pemikiran). Itu berarti laki-laki perlu keluar dari pemikirannya, keluar dari ‘kulkas’ tempat membekukan makanan. Afrizal justru mengajak, Aku tidur di depan sebuah kulkas untuk menangkap suara kulkas berdengung seperti kaus kaki di siang hari yang terik. Afrizal menggunakan kata ‘Aku’, aku yang tidur tetapi membuka mata, aku yang tidur tetapi mendengar ‘suara’ dari dalam kulkas.
Pesan ‘suara’ dalam puisi Afrizal bisa bermakna jeritan pengarang perempuan yang sedang berjuang saat ini. Sedangkan ‘kulkas’ adalah suatu tempat menyimpan kata ‘perempuan’ sebagai orang-orang yang dibekukan, yang kurang diberi apresiasi dan motivasi. Karena itu, sastrawan perlu pekah mendengar ‘suara’ yang muncul di sekitarnya. Sastrawan mesti tidur di luar ‘kulkas’ untuk kemudian mendengar pesan ‘suara’ tersebut. Inilah yang Ignas Kleden sebut sebagai satu bentuk kegelisahan politik seorang sastrawan, yaitu kegelisahan melihat hubungan manusia yang satu dengan yang lain, atau kegelisahan ‘aku’ sastrawan dalam melihat pengarang perempuan yang ada di sekelilingnya.
‘Aku’ perlu gelisah karena merindukan perubahan, atau sebuah kerinduan ‘aku’ untuk  menghapus kata ‘onani’ dalam ranah sastra. Dengan kata lain, sastrawan muda seperti Mario F. Lawi perlu gelisah untuk kemudian mengubah suatu proses ‘pembekuan’ soal sastra sebagai miliknya laki-laki saja. Kembali kepada Mario. Apakah mengamini atau sebaliknya, penulis hanya memberi input positif karena anggapan bahwa sastra hanya tidur sebagai sebuah kesimpulan umum dalam otak laki-laki (banyak penyair adalah laki-laki) akan  menciptakan jurang pemisah antara pengarang perempuan dan sastrawan.
Dengan begitu, barangkali pengarang perempuan akan mempertanyakan eksistensi penyair laki-laki, apakah Si A sungguh-sungguh penyair yang pekah atau sebaliknya? Ataukah Si B menulis dengan satu orientasi memecahkan persoalannya sendiri di mata pembaca atau publik NTT? Hal ini bisa menjadi mungkin, kalau dalam ranah sastra NTT masih memberlakukan kata ‘onani’ dan mengedepankan sisi ‘kulkas’ sebagai pembekuan pemikiran laki-laki terhadap pengarang perempuan NTT.  
Oleh karena itu, komentar saya tersebut di atas, yang mana mengutip pernyataan Sapardi tersebut sebetulnya memotivasi dan mengapresiasi perempuan (baca: Diana Timoria), dan mengajak ‘kita’ untuk saling melengkapi dalam ranah satsra NTT. Kegelisahan Sapardi adalah biasa dalam diri setiap pengarang (sastrawan). Oleh karena itu, pernyataan Sapardi tersebut menjadi sebuah ajakan bagi Sastrawan NTT supaya membuka mata, mendengar, serentak merasa gelisah bahwa tidak ada kata ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ setelah kata ‘pengarang’ di masa-masa mendatang.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya....