(Sebuah
Catatan Reflektif untuk Mario F. Lawi)
Oleh
Eto Kwuta
Beberapa
hari lalu, saya mengomentari puisi Diana Timoria yang di-tag pada dinding facebook
saya oleh saudara Mario F. Lawi. Puisi Diana Timoria ini dipublikasikan di
Harian Sore Sinar Harapan, 22-23
Maret 2014. Komentar sederhana saya kutip dari pernyataan Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono, akademisi UI dan sastrawan Indonesia yang sempat melontarkan
sebuah pernyataan demikian, “Di masa yang akan datang akan lahir banyak
pengarang perempuan karena laki-laki malas membaca. Maka,
kita kaum laki-laki, pencinta sastra, sastrawan muda sepert Mario F. Lawi, dan
lain-lain, mari kita ringkus kata ‘onani’ itu dari ranah sastra. Diana Timoria,
proficiat untukmu saudari.” Begitulah komentar kecil dari saya.
Selanjutnya
Mario F. Lawi menanggapi komentar saya isinya, “pengarang perempuan lahir bukan
karena laki-laki malas baca, tetapi memang karena sonde perlu ada ‘perempuan’ atau ‘laki-laki’ setelah kata ‘pengarang’.
Tidak salah apa yang dikatakan Mario. Lebih jauh lagi Mario mengomentari bahwa,
“kata-kata Sapardi itu dilontarkan dalam konteks penilaian karya-karya mereka
yang ikut sayembara novel DKJ beberapa tahun yang lalu. Jadi, sonde perlu digeneralisir.
Penulis
tidak mempersoalkan kapan Sapardi melontarkan pernyataan tersebut kepada
publik, tetapi mengutip pernyataan tersebut dengan tujuan memotivasi serentak
mengapresiasi Diana Timoria. Penulis tidak merasa terganggu
kalau komentar itu dianggap Mario sebagai generalisasi, namun sesuatu yang
mengganggu horison berpikir saya yaitu, ekspresi penolakan Mario terhadap
komentar saya. Itu berarti Mario ingin mempertahankan pernyataan Sapardi hanya
dalam konteks penilaian karya-karya waktu itu dan merasa terganggu dengan kata ‘onani’
yang terselip dalam komentar tersebut di atas. Sehingga saya kemudian mengerti
kalau Mario menganggap saya mengeneralisasi pernyataan Sapardi kepada kata ‘onani’
di atas. Jadi, penulis hendak memperkecil anggapan Mario dengan
membaca lebih jauh mengenai pernyataan Sapardi sebagai ungkapan “kegelisahan
sastrawan”.
Kegelisahan Sapardi
Ignas
Kleden pernah mengutarakan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan
karya sastra. Pertama, kegelisahan
politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam
sebuah struktur sosial. Kedua,
kegelisahan metafisika, yakni hubungan manusia dan alam semesata. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang
menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya
sendiri. Berdasarkan apa yang diutarakan Ignas Kleden tersebut, penulis bisa
mengatakan ada perbedaan antara Mario dan Sapardi. Sapardi menyampaikan sebuah
fakta yang benar-benar ada karena rasa gelisah (kegelisahan politik), sedangkan Mario tidak perlu lagi gelisah
karena sudah berada pada titik aman. Dengan demikian, penulis berani mengatakan
kalau Mario tengah mengalami kegelisahan eksistensial, karena banyak hal dalam
dirinya sudah dipecahkan sendiri (menghasilkan karya sastra berupa puisi maupun
cerpen).
Ketika
berhadapan dengan perjuangan perempuan untuk lahir kembali (baca: menciptakan
karya-karya sastra), seorang Sapardi melihat kemungkinan lain di waktu yang
akan datang. Pertama, saya
menyebut pernyataan Sapardi sebagai satu kegelisahan. Mengapa? Kita perlu
menyadari kalau generalisasi tidak selamanya negatif. Tetapi pada tataran
tertentu generalisasi berdaya guna membangun, memotivasi, bahkan membongkar
kemapanan apa pun itu. Hal ini dinamakan sebagai generalisasi empiris yang berangkat dari tesis,
hukum, atau hipotesis berdasarkan pengamatan terhadap kenyataan tertentu dan
sifatnya sangat spesifik. Dan ketika Mario menganggap komentar saya sebagai
suatu generalisasi, itu bisa benar bisa juga tidak. Karena mempertimbangkan
kegelisahan Sapardi tersebut, beliau justru membuat sebuah generalisasi juga,
yaitu generalisasi empiris. Mungkin
karena fenomena empiris yang ditemukan beliau yaitu, laki-laki sekarang malas
membaca.
Kedua,
kegelisahan Sapardi yang mengantar beliau melontarkan pernyataan tersebut
bermakna menanti sesuatu yang lebih baik (kerinduan) dan bukan rasa takut atau
cemas karena pengarang perempuan bakal mendominasi laki-laki. Itu berarti
kegelisahan Sapardi bukan omong kosong atau semu. Sapardi justru melihat
peluang lahirnya pengarang perempuan yang lebih banyak. Ada semacam kerinduan
terdalam seorang Sapardi supaya perempuan kembali kepada kesederajatannya
dengan laki-laki. Dengan membenarkan ungkapan Mario, tidak ada ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’
setelah kata pengarang. Di samping itu, Sapardi tidak semata mengakarkan
pernyataannya dalam konteks penilaian karya-karya waktu itu, tetapi melihat
kemungkinan lain di masa yang akan datang. Adalah sangat mungkin kalau pengarang
perempuan lebih banyak ketimbang pengarang laki-laki untuk beberapa tahun ke
depan.
Sastrawan NTT
(yang) Gelisah?
Seorang sastrawan
sejati ialah sastrawan yang perlu merasa gelisah. Tampak jelas sekali kita
sedang mendapati satu bentuk kegelisahan seorang Sapardi. Kalau seorang
sastrawan senior seperti Sapardi sudah merasa gelisah, apalagi
sastrawan-sastrawan lainnya. Bertolak dari sini, penulis hendak mengajak adalah
baik sastrawan NTT gelisah kalau
nanti akan muncul banyak pengarang perempuan atau perempuan yang menulis lebih
banyak ketimbang laki-laki. Hemat penulis, ini hal yang positif. Tidak
mengurangi rasa hormat terhadap Mario, pernyataan Sapardi di atas sebenarnya
membingkai sebuah kritik terhadap dunia sastra, khususnya di NTT. Artinya, kritik bukan hanya untuk pengarang
perempuan saja, melainkan juga para sastrawan atau pengarang laki-laki. Mengapa
kritik?
Pertama,
sastra yang dianggap sebagai hasil ‘onani’. Sebuah opini Dody Kudji Lede
menggarisbawahi kalau sastra bukan lahir dari hasil onani, sehingga perlu
disadari bahwa sastra bukan hanya soal laki-laki, tetapi juga perempuan (PK, 1/3/2014). Ketika menyentil opini
Dodi K. Lede dalam diskusi kecil di facebook,
Mario mengatakan kalau Pos Kupang
menurunkan opini tersebut dengan muatan politik. Hemat saya, Harian Pos Kupang menurunkan opini ini bukan
karena intensitas politik, tetapi karena memang sangat perlu untuk membuka
pemahaman publik bahwa sastra itu harus dihidupi baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Ketika berbicara soal ‘onani’, maka ada tendensi kalau laki-laki
merasa super dan mengatakan hanya
laki-laki yang bisa beronani. Atau hanya laki-laki yang lebih banyak menulis
tentang sastra. Benarkah demikian?
Kalau kita menengok sastrawan Indonesia, misalnya
Joko Pinurbo, Goenawan Mohamad, Sutardji C. Bachri, Dami M. Toda, Gerson Pyok, atau sastrawan muda NTT
seperti Mario F. Lawi (yang saya bicarakan dalam tulisan ini), Ishack Sonlay,
Gusti M. Raya, dan lainnya, bisa dikatakan kalau banyak penulis itu laki-laki.
Namun, hal yang perlu diperhatikan ialah kita harus menghapus kata ‘onani’
dalam ranah sastra.
Kedua, sastra yang dianggap
tidur dalam kulkas. Saya mengutip
bunyi dua baris pertama sajak Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan dengan
seekor anjing”. Bunyinya demikian, “AKU tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus
kakiku di siang hari yang terik (Media, 02/02/03).
Hemat saya, Afrizal sebetulnya
mengajak siapa saja untuk tidak tidur dalam pemikirannya sendiri serentak
memutlakan kultus-kultus yang ada (pembekuan pemikiran). Itu berarti laki-laki
perlu keluar dari pemikirannya, keluar dari ‘kulkas’ tempat membekukan makanan.
Afrizal justru mengajak, Aku tidur di depan sebuah kulkas untuk
menangkap suara kulkas berdengung seperti
kaus kaki di siang hari yang terik. Afrizal menggunakan kata ‘Aku’, aku yang tidur tetapi membuka
mata, aku yang tidur tetapi mendengar ‘suara’ dari dalam kulkas.
Pesan ‘suara’ dalam puisi Afrizal bisa bermakna jeritan pengarang perempuan
yang sedang berjuang saat ini. Sedangkan ‘kulkas’ adalah suatu tempat menyimpan
kata ‘perempuan’ sebagai orang-orang yang dibekukan, yang kurang diberi
apresiasi dan motivasi. Karena itu, sastrawan perlu pekah mendengar ‘suara’
yang muncul di sekitarnya. Sastrawan mesti tidur di luar ‘kulkas’ untuk
kemudian mendengar pesan ‘suara’ tersebut. Inilah yang Ignas Kleden sebut
sebagai satu bentuk kegelisahan politik seorang sastrawan, yaitu kegelisahan
melihat hubungan manusia yang satu dengan yang lain, atau kegelisahan ‘aku’ sastrawan
dalam melihat pengarang perempuan yang ada di sekelilingnya.
‘Aku’ perlu gelisah karena merindukan perubahan, atau sebuah kerinduan
‘aku’ untuk menghapus kata ‘onani’ dalam
ranah sastra. Dengan kata lain, sastrawan muda seperti Mario F. Lawi perlu
gelisah untuk kemudian mengubah suatu proses ‘pembekuan’ soal sastra sebagai
miliknya laki-laki saja. Kembali kepada Mario. Apakah mengamini atau
sebaliknya, penulis hanya memberi input positif karena anggapan bahwa sastra
hanya tidur sebagai sebuah kesimpulan umum dalam otak laki-laki (banyak penyair
adalah laki-laki) akan menciptakan
jurang pemisah antara pengarang perempuan dan sastrawan.
Dengan begitu, barangkali pengarang perempuan akan mempertanyakan
eksistensi penyair laki-laki, apakah Si A sungguh-sungguh penyair yang pekah atau
sebaliknya? Ataukah Si B menulis dengan satu orientasi memecahkan persoalannya
sendiri di mata pembaca atau publik NTT?
Hal ini bisa menjadi mungkin, kalau dalam ranah sastra NTT
masih memberlakukan kata ‘onani’ dan
mengedepankan sisi ‘kulkas’ sebagai pembekuan pemikiran laki-laki terhadap
pengarang perempuan NTT.
Oleh karena
itu, komentar saya tersebut di atas, yang mana mengutip pernyataan Sapardi
tersebut sebetulnya memotivasi dan mengapresiasi perempuan (baca: Diana
Timoria), dan mengajak ‘kita’ untuk saling melengkapi dalam ranah satsra NTT. Kegelisahan Sapardi adalah biasa dalam diri
setiap pengarang (sastrawan). Oleh karena itu, pernyataan Sapardi tersebut menjadi
sebuah ajakan bagi Sastrawan NTT
supaya membuka mata, mendengar, serentak merasa gelisah
bahwa tidak ada kata ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ setelah kata ‘pengarang’ di
masa-masa mendatang.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar