Selasa, 06 September 2022

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya. Siang memang panas, malam kita memeluk dingin sambil menunggu jam makan, lalu tidur pulas menuju pagi. 

Sekarang, tanggal 7 September 2018. Besok, tanggal 8. Betapa tidak terasa cepatnya, tapi terasa letihnya bekerja sambil berdoa. Siang ini, pulang dalam keadaan lapar, tapi lapar yang normal. Tidak lapar sekali, karena September punya cerita berbeda. Ada September dan Kitab Suci yang selalu memuntahkan sabda-sabda cinta dan kasih sayang. Benarlah, ini bulan yang membawa kekenyangan rohani paling alami. 

September ini adalah seperti waktu wisata rohani yang paling murni. Saya pun mengingat kembali meditasi, kontemplasi, baca Kitab Suci, menulis renungan mini, dan masih banyak lagi. Ini dulu sekali. Sekarang, saya merindukan ini seperti rusa mendambakan air segar di bibir sungai Mahakam.

Betapa kerinduan ini seperti sebuah sakramen yang akan menjadi kekal di mata Tuhan. Barangkali, saat Kitab Suci dibuka, saya hanyalah orang gila yang merasa akrab kembali lagi dengan Tuhan. Setelah sekian lama terusir dan mengalir jauh ke ruang-ruang hatimu, aku bukanlah apa-apa dalam sabda-sabda yang tertulis di Kitab tua yang selalu menemani sakit dan penyakitku.

Ingat juga bahwa ada juga sakit dan penyakitmu yang selalu membuatmu haus akan Tuhan. Maka, janganlah jauh! Karena September adalah rumah untuk membaca Tuhan dalam hatimu. September adalah gulungan-gulungan kata dan doa yang bergerak ke mana air mengalir dan angin pergi maupun pulang dalam desahan yang imut di telingamu.

Telinga September

Oh ya, telinga ini adalah telinga September. Telinga yang mau supaya kita mendengar dengan penuh cinta dan membaca terus puisi-puisi di dalam kitab tua ini. Jika membaca bagimu adalah kerja, maka bekerjalah sambil membaca. Jika membaca bagimu adalah doa, maka membacakan sambil berdoa. Semua ini akan indah pada waktunya.

Pengkhotbah ulung yang lahir di zaman sebelum Yesus, telah mengajarkan betapa waktu adalah berharga dalam Tuhan. Untuk segala sesuatu ada masanya. Maka, September adalah masa yang indah untuk berkunjung kepada makam-makam kita yang kering dan mati oleh karena sabda masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Selamat membaca Kitab Suci.

#rumahremahkata-kata

#AdaDalamKata

Jumat, 26 Agustus 2022

Nubuat dan Berbuat

Yeheskiel, si pelihat itu membuka mulut dan mulai bicara. Caranya bicara itu seperti hujan kemarin ketika perjalanan panjang ke Bajawa dihiasi basah sepanjang jalan. Yeheskiel, hari ini membuka cerita tentang sakit dan penyakit yang melanda rumah hati kita. 


Dan, saya tertahan oleh dingin yang membeku. Hati saya diremas mendung di hari ini, sedang Tuhan lewat pakai sendal jepit, dan gerimis mulai tiba. Yeheskiel meminta Tuhan menulis hujan, biar hati semua orang mencair.


Tiba-tiba, pemazmur menyanyi di atas puncak Ebulobo: "Tuhanlah gembalaku, tak akan kekurangan aku!" 


Angin pun membawa nada-nada ke Wolowio, lalu lonceng menyambut gema suara pemazmur. Sampai akhir ziarah, Ekaristi masih subur di depan altar, lalu dilarikan oleh telinga-telinga kepada semua yang ada.


Kemudian, Matius menggoda kita supaya masuk ke dalam luka-luka ziarah hidup ini, biar kita membalut berkat untuk berbuat seperti yang disabdakan oleh Yesus. 


Yesus masuk ke dalam hati kita, lalu mahkotanya ditahktakan ke dalam hati kita. Ia membuka pakaian-Nya, lalu menjadi hamba. Lebih dari itu, ia merajai hati kita sampai mati.


#rumahremah kata-kata.

#wolowio, Bajawa

#AdaDalamKata


26 November 2017

Adven di Dapur Maria

"Sayang, kutunggu masakanmu. Masak daun pepaya tambah garam segengam, ya?" pintaku padanya.

"Ya. Boleh. Mau saya tambahkan masako?"

"Ah, jangan. Biar garam saja, ya!" kataku lagi.


Aku duduk di bilik dapur. Di depannya, sebuah meja dengan kain ungu. Di tengah ada empat buah lilin. Satu buah lilin sudah dinyalakan sejak minggu kemarin.


Sambil melinting tembakau sek, kubiarkan aroma dapur Maria menggoda hatiku. Kubiarkan lagi asap menggauli tubuhku. Kubiarkan lagi bunyi air mendidih semakin risih. Lalu, semuanya kubiarkan supaya menjadi. Semua menjadi masak di dapur.


"Pietro, bukakan saya sebuah lagu!" pintanya.

"Mau lagu apa, sayang?" 

"Nah, lagu tentang nama saya," katanya.


Saat itu, semuanya semakin masak. Dan, kuputar lagu "Ema Maria". Di dapur, api di tungku menari, air mendidih sambil bersiul, kayu menabuhkan kruk-krak yang gertak, piring dan senduk menunggu masakan daun pepaya tambah garam sambil mencumbu secara diam-diam. Semua, semua yang di dapur ikut membaur dalam melodi yang sama. 


Kemudian, Maria menoleh sambil senyum. Ia main mata dan meminta saya duduk di dekat tungku. Ya, kuikut apa yang ia mau.


Sambil bercerita, kami menunggu dengan harapan yang selalu jatuh cinta pada kesuksesan. Sementara sibuk memasak dan menuai cerita, tiba-tiba lampu PLN padam. 


Semua gelap. Semua mati. Dan, di meja yang menunggu rasa pahit dan garam yang ampuh, lilin menebarkan pesona cahaya yang misterius. Di dapur, api tungku pun menggempur gelap.


Aku dan Maria dihiasi warna kuning kemerah-merahan juga rasa panas dari api yang menyala. 


Tiba-tiba, ia mengecup bibirku. Lampu PLN menyala saat itu. Dan, ayam berkokok tiga kali, memberi tanda bahwa di dapur, dari dapur, dan keluar dari dapur di luar dapur, ada yang terus memberi arti dan juga menyembunyikan perasaannya sendiri. 


Aku merenung. Sendirian. Dan, Maria hanya tersenyum di kepala saya, sambil mengatakan: "Kamulah cinta saya sampai mati."


#shortstory

#Rumahremah kata

#DapurMaria

Facebook, 6 Desember 2017

Teater Evergrande Syuradikara



Tahun 2017, 10 November telah dipentaskan Tungku Haram karya seniman revolusioner Zarathustra. Beliau adalah seorang pastor dalam Serikat Sabda Allah atau SVD yang aktif menelurkan judul-judul teater yang bernas. 


Dalam tahun-tahun kemarin, juga sudah mendahului Tungku Haram, semisal Separuh Nafas, Kursi Retak, dan lainnya merupakan judul-judul yang saling sambung-menyambung. Judul yang satu berkaitan dengan judul kedua, ketiga, dan seterusnya.


Implikasi praktis dari semua itu tampak dalam 'dapur' Evergrande Syuradikara. Di dalamnya, lahir metamorfosis seni yang memiliki kahrakter edukasi.


Berbicara soal edukasi atau pendidikan yang berkahrakter, saya tidak meragukan Syuradikara sebagai lembaga pendidikan yang kreatif-inovatif. Maka, jika tahun kemarin dalam 'Tungku Haram' itu, belum memberikan tingkat kepuasan publik karena sound system yang kacau, maka pada Maret yang akan datang, Evergrande Syuradikara akan kembali.


Artinya, panggung adalah sebuah publikasi riil yang sebaiknya memberi dampak. Publikasi riil di sini bukan soal dokumentasi fotografi dan videografi saja, tapi soal keseluruhan seni yang ditampilkan di atas panggung.


Saya berasumsi bahwa 'Tungku Haram' adalah satu dari sekian banyak judul teater yang berevolusi oleh karena Sutradaranya. Saya melihat bahwa revolusi sosial-politis dalam seni sungguh-sungguh lahir di dalam Evergrande Syuradikara. Dinamikanya ada dan sangat revolusioner.


Yang revolusioner itu ada dalam diri Zarathustra sebagai sutradara dan tidak terlepas dari semua crew yang terlibat di dalamnya. Ada semacam spiritualisme kritis ala Ayu Utami, tapi ia menyikapi secara kritis soal Human Trafficikng. 


Kalau dalam Bilangan Fu, Ayu Utami menobatkan Spiritualisme Kritis bagi para pemeluk agama, maka dalam 'Tungku Haram' saya berani mengatakan bahwa telah lahir Spiritualisme yang Revolusioner. Dalam arti, seni dihadapkan bukan terpaku dalam satu titik seni, melainkan banyak. (Going on).

Rabu, 24 Agustus 2022

Kota dan Tata Kota

Maumere adalah ibu kota Kabupaten Sikka. Kota yang manis, bila kita mendengar lagunya. Kala kita jauh di mana saja, jika lagu Maumere Manis didengar, maka kita dihantam rindu untuk pulang ke pangkuan mama.

Pagi ini saya putar-putar di kota. Ada banyak yang berubah. Tata kota yang mulai menghiasi mata-mata yang memandang, pandangan yang lain, dan semua ini menarik kita untuk melihat siapa dan apa yang ada di balik keindahan itu.

Kamu pasti ingat kota Maumere. Kota yang sedang disulap menjadi metro dan polis. Plato akan bangga jika ia melihat dan mengalami Maumere. Kalau dahulu Yunani itu kuno, maka sekarang Maumere itu modern. Kita bakal memetik ide-ide filsafat kontemporer dan belajar mengubah yang lama jadi baru. 

Yang lama perlu diubah biar yang baru dicerna secara positif. Maka, Maumere dan tata kotanya adalah sebuah 'revolusi' yang positif-agresif. Tingkatan agresivitasnya mengacu pada kata 'tata', karena penataannya akan memberi kesan tunggal, yakni 'keindahan'.

Kalau yang indah itu selalu memberi, maka Maumere itu lupa menerima. Nanti, jika kota dan tata kotanya menjadi terpusat. Ada sentralisasi yang tidak boleh mengikuti Jakarta yang 'mengkotak-kotak-kan'. Paling kurang, Maumere perlu melihat dan memberi lebih banyak, supaya orang-orangnya bisa melihat ada "kualitas yang menjadi". Misalnya, keadilan menjadikan kota milik kita.

Tentu saja, saya yakin dan percaya bahwa keindahan itu tampak satu; mengikat yang banyak dalam satu. Satu untuk membangun Maumere jadi lebih potensial. 

Oleh karena itu, kota dan tata kotanya harus memproyeksikan sedikit nuansa " Bajawa". Biar dinginnya terasa dan sejuk menjadi milik bersama. Jadi, kita perlu belajar banyak dari 'yang lain".

#remah-rumah kata-kata. Ada dalam kata.

24 Agustus 2017

Sabtu, 13 Agustus 2022

Ke Rumah Sakit Minggu

Ada bulan, bintang, dan rindu yang melintang ke arah kamu. Pet duduk di bawahnya dengan rindu tanpa nama, tiada bentuk, tiada batas. Pet memandang ke atas dan melihat betapa langit jauh tiada batas dan rindu semakin mengeras dan mengalif deras.

Di lapangan, pinggir kampung, Pet duduk memandang bulan. Bulan separuh dan dia juga melihat ada rindu yang separuh. Rindu pada mantan. Mantan atau lebih tepatnya mutan yang lahir 2000-an tahun lalu, masih ada dan mondar-mandir di malam minggu. Mantan yang berkelas dan Pet membayangkan kalau kelasnya mantan sudah pasti berkelas. Jika dilihat dari rupanya, mantan itu mutan yang sedang sakit, tapi membuat seolah tidak sakit. 

Hati sakit dan sakit-sakitan para mantan adalah bukan sakit musiman, melainkan sakit mainan yang dimainkan dengan cara bermain tali. Pet masih duduk. Dia melihat mantannya mengambil tali bendera dan juga bendera. Ia menonton sebuah teka-teki yang dimainkan oleh perempuan yang bernama "Mabeta".

Mabeta mengikat tali pada tulang keringnya dan menempelkan merah-putih pada pipinya. Ia merasa bangga dengan senyum yang ranum di wajahnya. Dan, Pet turut merasa bangga dengan Mabeta. Tiba-tiba, Mabeta mengajak. 

"Pet, Mari bermain tali!" teriaknya dari jauh. Lalu, Pet mendengar desahan-desahan Mabeta yang nakal di sana-sini. Mabeta telah menyiapkan tiang bendera untuk menggantung hatinya.

"Lebih baik saya menggantung hati saya, daripada saya menggantungmu di perjalanan ke rumah sakit Minggu," kata Mabeta.

Pet kaget. Ia bangun dan berjalan terus ke rumah sakit. Di sana, dia melihat bahwa bukan hati Mabeta yang mengantung di sudut sunyi, tapi hatinya sendiri. Dia berlutut dan tekuk di bawah kaki-Nya. 

"Minggu lalu aku di Kupang dan lupa pulang ke sarang. Sekarang aku pulang dan melihat bahwa aku digantung seperti bendera. Hatiku adalah bendera. Merah-putihnya adalah satu perjuangan. Maka, kibarkanlah hatiku kepada hati siapa saja, yang mampu mencintaiku seperti cinta-Mu padaku. Cinta tanpa tali.  Cinta tanpa ada kata 'pemali'. Karena merdeka tidak mengenal haram, tapi merdeka itu mengenal siapa yang jujur dengan dirinya sendiri dan lebih tingginya, jujur dengan yang sedang digantung di atas itu," kata Pet sambil memakukan seluruh dirinya di sebuah perjalanan. Perjalanan ke Rumah Sakit Minggu.


#Remah-remah kata

Kamis, 11 Agustus 2022

Gonsalu Cup dan Arus Gonsalu

Wajah Oriel Laru (28) tidak pucat. Saya kaget kala perjumpaan kami ini menumbuhkan aura kehidupan yang tak akan padam. 

Kawan lama yang merangkap captain kesebelasan Kanada, merasa terhormat di laga perdana Gonsalu Cup, team-nya berhadapan dengan juara bertahan musim kemarin, anak-anak Boru, Kampung Baru, Wulanggitang, Jumat (11/8) sore.

Oriel adalah kawan lama yang suka bola, cinta bola, tidak buta bola, dan ingin mati bersama bola.

Ia bersama kesebelasannya baru pertama kali ikut ajang bergengsi Gonsalu Cup. Ya, kalau ukuran di wilayah Kecamatan Wulanggitang, maka Gonsalu Cup justru hadir ketiga kalinya dan mereka pertama kali dalam sejarah di ajang ini.

"Saya suka sejarah baru dimulai. Karena kami bukan Kanada yang menyontek nama negara ini, tapi kami adalah Kanada yang memahami sejarah," ujar Oriel saat kami berpapasan muka dengan muka, sambil saya melihat kalau di wajahnya ia menyembunyikan kecemasan. 

Dan, kala pertandingan berlangsung sengit, Oriel justru menjadi bintang di laga perdana. Ia menyumbang 2 gol di laga perdana. Tendangan di luar garis enam belas, dua kali tak meleset. Hingga, laga berakhir dengan score 3:2. Ya, Oriel menjadi bintang yang hidup pada sore kemarin.

"Saya bangga karena kami datang, kami melihat, kami menang," ujarnya sambil tersenyum bahagia.

Saat saya mendengar pernyataan ini, saya mengingat bagaimana kemenangan itu menunggu dipetik, tapi menggapainya diperlukan kerja cerdas. 

Oriel sudah membuka puasa kegagalan dengan segelas keringat kemenangan di awal ajang bergengsi Gonsalu Cup. Hal yang menarik ialah bagaimana dan siapa sosok atau tokoh di balik Gonsalu Cup dan apa yang dimuntahkan dalam ajang ini?

Pertama, Gonsalu punya tokoh dan sebagai nama dari toko. Maka, Om Frengky de Class bukanlah pahlawan yang melawan egonya sendiri, tapi melawan kebodohan masyarakat Wulanggitang dan sekitarnya. Ia punya toko yang ramai dikunjungi pembeli serentak ia menarik semua yang jauh jadi dekat, yang dekat tetap di tempat, dalam satu arus gonsalu, kita diantar kepada sejarah.

Sejarah itu kemenangan yang ada di depan mata. Sejarah itu arus balik dan mudik, biar ada perjumpaan yang sarat dengan cinta, kasih, dan sayang. Maka, kita harus melihat ETMC kemarin dan belajar bagaimana cara terbaik menendang bola dengan kaki, bukan dengan darah dan air mata.

Tentu saja, cinta itu luka, kita ini buta, mencintai itu bukan sebatas kata-kata dan tanpa cerita tapi kita dibatasi untuk merebut kata 'menang' jadi sejarah.

Kedua, arus Gonsalu bukan arus mainan. Tekanan dahsyat, ribut, gelombang ganas, memecah belah dan bahkan bisa membunuhmu saat ini juga. Namun, ada sesuatu yang bergerak dengan cepat dan itu adalah cara kita melihat bola dan bola melihat kita.

Maka, kita perlu mengingat bahwa laga kedua hari ini sebaiknya dipahami sebagai laga perdana. Karena kedua, ketiga, dst selalu dimulai dari pertama. Dalam arti, kita menjadi seperti Oriel yang memahami ajang ini secara positif. Kita datang, kita melihat, kita menang. Cukup pahami adagium ini, maka piala dan arus kata-kata, tindakan, sikap, dan semuanya menjadi cerita yang tidak pernah mati di tengah lapangan hijau.

#Maridukungkami. :-)

September dan Kitab Suci

Agustus sudah pergi. September datang seperti sedang berlari. Angin kencang tak digubrisnya. Dingin kota Ende tak berarti di dalam tubuhnya....